Senin, 17 Oktober 2016

Asuhan Keperawatan Dengan Rabies

BAB I
PENDAHULUAN

Diperkirakan 55.000 orang di dunia meninggal akibat rabies setiap tahunnya. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO) “lebih dari 99% kasus rabies pada manusia terjadi akibat dari gigitan hewan-hewan anjing yang terinfeksi”.
WHO, the World Organization for Animal Health (OIE), the World Society for the Protection of Animals (WSPA) dan banyak lagi yayasan-yayasan kesejahteraan hewan skala nasional yang setuju dan menerima bahwa solusi utama dalam menghadapi masalah rabies adalah melalui kebijakan vaksinasi hewan anjing (dan sterilisasi bila memungkinkan), dikombinasikan dengan edukasi ke masyarakat tentang pencegahan gigitan hewan anjing dan rabies, dan kemudahan akses untuk pengobatan kepada orang yang tergigit.
Eliminasi secara tidak manusiawi terhadap hewan anjing belum pernah menunjukan efektifitas nya terhadap pengurangan populasi ataupun pengendalian rabies. Walaupun demikian masih banyak pemerintah yang dengan tidak peka nya meracuni, me-elektrokusi, menembaki dan memukuli hingga tewas hewan-hewan anjing bilamana wabah terjadi.
Pada kenyataannya, walau hanya eliminasi sebesar 15% dari populasi yang ada akan berakibat pada bertambahnya kelangsungan hidup hewan anjing lain yang sehat yang mana akhirnya akan menambah jumlah pertumbuhan populasi itu sendiri.
Vaksinasi (dan sterilisasi bila memungkinkan) adalah lebih efektif dalam hal biaya, manusiawi dan terbukti merupakan solusi utama yang dapat berguna untuk mengendalikan rabies dalam hewan penyebar.




BAB II
PEMBAHASAN

1.        KONSEP DASAR MEDIS
a.         Defenisi
Rabies adalah penyakit infeksi akut susunan saraf pusat pada manusia dan mamalia yang berakibat fatal.
b.        Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus rabies yang termasuk genus Lyssa-virus, famih Rhabdoviridae dan menginfeksi manusia melalui secret yang terinfeksi pada gigitan binatang atau ditularkan melalui gigitan hewan penular rabies terutama anjing, kucing, dan kera. Nama lainnya ialah hydrophobia la rage (Prancis), la rabbia (Italia), la rabia (spanyol), die tollwut (Jerman), atau di Indonesia dikenal sebagai penyakit anjing gila.
Adapun penyebab dari rabies adalah :
1.        Virus rabies.
2.        Gigitan hewan atau manusia yang terkena rabies.
3.        Air liur hewan atau manusia yang terkena rabies.
c.         Masa inkubasi
Masa inkubasi adalah waktu antara penggigitan sampai timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi penyakit rabies pada anjing dan kucing kurang lebih 2 minggu (10 hari - 14 hari). Pada manusia 2-3 minggu dan paling lama 1 tahun. Masa inkubasi rabies 95% antara 3-4 bulan, masa inkubasi bias bervariasi antara 7 hari - 7 tahun, hanya 1% kasus dengan inkubasi 1-7 tahun. Karena lamanya inkubasi kadang-kadang pasien tidak dapat mengingat kapan terjadinya gigitan. Pada anak-anak masa inkubasi biasanya lebih pendek dari pada orang dewasa. Lamanya inkubasi dipengaruhi oleh dalam dan besarnya gigitan, lokasi gigitan (jauh dekatnya kesistem saraf pusat), derajat pathogenesis virus dan persarafan daerah luka gigitan. Luka pada kepala inkubasi 25-48 hari, dan pada ekstremitas 46-78 hari.
d.        Cara Penularan
Setelah virus rabies masuk ke tubuh manusia, selama dua minggu virus menetap pada tempat masuk dan jaringan otot didekatnya. Virus berkembang biak atau lansung mencapai ujung-ujung serabut saraf perifer tampa menunjukan perubahan-perubahan fungsinya. Selubung virus menjadi satu dengan membrane plasma dan protein ribonukleus dan memasuki sitoplasma. Beberapa tempat pengikatan adalah reseptor asetil-kolin post-sinaptik pada neuromuscular junction di susunan saraf pusat (SSP). Dari saraf perifer virus menyebar secara sentripetal melalui endoneurium sel-sel Schwan dan melalui aliran aksoplasma mencapai ganglion dorsalis dalam waktu 60-72 jam dan berkembang biak. Selanjutnya virus menyebar dengan kecepatan 3 mm/jam kesusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Melalui cairan serebrospinal.
Diotak virus menyebar secara luas dan memperbanyak diri  dalam semua bagian neuron, kemudian bergerak ke perifer dalam serabut saraf eferen dan pada saraf volunter maupun pada saraf otonom. Penyebaran selanjutnya dari SSP ke saraf perifer termasuk saraf otonom, otot skeletal, otot jantung, kelenjar adrenal (medula), ginjal, mata, dan pankreas. Pada tahap berikutnya virus akan terdapat pada kelenjar ludah, kelenjar lakrimalis, sistem respirasi. Virus juga tersebar pada air susu dan urin. Pada manusia hanya dijumpai kelainan pada midbrain dan medula spinalis pada rabies tipe furious (buas) dan pada medula spinalis pada tipe paralitik. Perubahan  patolgi berupa degenerasi sel ganglion, infiltrasi sel mononuklear dan perivaskular, neuronovagia dan pembentukan nodul pada glia pada otak dan medula spinalis.
Dijumpai Negri bodies yaitu benda intrasitoplasmik yang berisi komponen virus terutama protein ribonuklear dan fragmen organela seluler seperti ribosomes. Negri bodies dapat ditemukan pada seluruh bagian otak, terutama pada korteks serebri, batang otak, hipothalamus, sel purkinje serebrum, ganglia dorsalis dan medula spinalis.  Pada 20% kasus rabies tidak ditemukan Negri bodies. Adanya miokarditis menerangkan terjadinya aritmia pada pasien rabies.
e.         Patofisiolgi
Virus rabies yang terdapat pada air liur hewan yang terinfeksi, menularkan kepada hewan lainnya atau manusia melalui gigitan atau melalui jilatan pada kulit yang tidak utuh . Virus akan masuk melalui saraf-saraf menuju ke medulla spinalis dan otak, yang merupakan tempat mereka berkembangbiak dengan kecepatan 3mm / jam. Selanjutnya virus akan berpindah lagi melalui saraf ke kelenjar liur dan masuk ke dalam air liur.
Pada 20% penderita, rabies dimulai dengan kelumpuhan pada tungkai bawah yang menjalar ke seluruh tubuh. Tetapi penyakit ini biasanya dimulai dengan periode yang pendek dari depresi mental, keresahan, tidak enak badan dan demam. Keresahan akan meningkat menjadi kegembiraan yang tak terkendali dan penderita akan mengeluarkan air liur.
Kejang otot tenggorokan dan pita suara bisa menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Kejang ini terjadi akibat adanya gangguan daerah otak yang mengatur proses menelan dan pernafasan. Angin sepoi-sepoi dan mencoba untuk minum air bisa menyebabkan kekejangan ini. Oleh karena itu penderita rabies tidak dapat minum, gejala ini disebut hidrofobia (takut air). Lama-kelamaan akan terjadi kelumpuhan pada seluruh tubuh, termasuk pada otot-otot pernafasan sehingga menyebabkan depresi pernafasan yang dapat mengakibatkan kematian.







f.          Manifestasi Klinis
Pada manusia secara teoritis gejala klinis terdiri dari 4 stadium yang dalam keadaan sebenarnya sulit dipisahkan satu dari yang lainnya, yaitu:
1.        Gejala prodromal non spesifik
2.        Ensefalitis akut
3.        Disfungsi batang otak
4.        Koma dan kematian
STADIUM
LAMANYA (% KASUS)
MANIFESTASI KLINIS
Inkubasi
      < 30 hari (25%)
      30-90 hari (50%)
      90 hari-1 tahun (20%)
      >1 tahun (5%)
Tidak ada
Prodromal
2-10 hari
Parestesia, nyeri pada luka gigitan, demam, malaise, anoreksia, mual dan muntah, nyeri kepala, letargi, agitasi, ansietas, depresi.
Neurologik
  Akut
-          Furious (80%)





Paralitik
  Koma
2-7 hari








2-7 hari
0-14 hari
Halusinasi, bingung, delirium, tingkah laku aneh, takut, agitasi, menggigit, hidropobia, hipersaliva, disfagia, avasia, hiperaktif, spasme faring, aerofobia, hiperfentilasi, hipoksia, kejang, disfungsi saraf otonom, sindroma abnormalitas ADH.
Paralisis flagsid
Autonomic instability, hipoventilasi, apnea, henti nafas, hipotermia, hipetermia, hipotensi, disfunsi pituitari, aritma, dan henti jantung.

g.         Komplikasi
Berbagai komplikasi dapat terjadi pada penderita rabies dan biasanya timbul pada fase koma. Komplikasi Neurologik dapat berupa peningkatan tekanan intra cranial: kelainan pada hypothalamus berupa diabetes insipidus, sindrom abnormalitas hormone anti diuretic (SAHAD); disfungsi otonomik yang menyebabkan hipertensi, hipotensi, hipertermia, hipotermia, aritmia dan henti jantung. Kejang dapat local maupun generalisata, dan sering bersamaan dengan aritmia dan gangguan respirasi. Pada stadium pradromal sering terjadi komplikasi hiperventilasi dan depresi pernapasan terjadi pada fase neurolgik. Hipotensi terjadi karena gagal jantung kongestif, dehidrasi dan gangguan saraf otonomik.
Table Komplikasi Pada Rabies dan Cara Penanganan
JENIS KOMLIKASI
PENANGANANNYA
Neurologi
-          Hiperaktif
-          Hidrofobia
-          Kejang fokal
-          Gejala neurologi local
-          Edema serebri
-          Aerofobia

Fenotiazin, benzodiazepine
Tidak diberi apa-apa lewat mulut
Karbamazepine, fenitoin
Tak perlu tindak apa-apa
Mannitol, galiserol
Hindari stimulasi
Pituitary
-          SAHAD
-          Diabetes insipidus

Batasi cairan
Cairan, vasopressin
Pulmonal
-          Hiperventilasi
-          Hipoksemia
-          Atelektasis
-          Apnea
-          pneumotoraks

Tidak ada
Oksigen, ventilator, PEEP
Ventilator
Ventilator
Dilakukan ekspansi paru
Kardiovaskular
-          Aritmia
-          Hipotensi
-          Gagal jantung kongestif
-          Thrombosis arteri/vena
Obstruksi vena kava superior
-          Henti jantung
Oksigen, obat anti aritmia
Cairan, dopamine
Batasi cairan, obat-obatan
Oksigen, obat anti aritmia
Cairan, dopamine
Batasi cairan, obat-obatan
Lain-lain
-          Anemia
-          Perdarahan gastrointestinal
-          Hipertermia
-          Hipotermia
-          Hipooalemia
-          Ileus paralitik
-          Retensio urine
-          Gagal ginjal akut
-          pneumomediastinum
Transfuse darah
H2 blockers, transfusi darah
Lakukan pendinginan
Selimut panas
Pemberian cairan
Cairan paranteral
Kateterisasi
Hemodialisa
Tidak dilakukan apa-apa

h.        Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik  mengenai:
1.        Status Pernafasan
-          Peningkatan tingkat pernapasan
-          Takikardi
-          Suhu umumnya meningkat (37,9º C)
-          Menggigil

2.        Status Nutrisi
-          Kesulitan dalam menelan makanan
-          Berapa berat badan pasien
-          Mual dan muntah
-          Porsi makanan dihabiskan
-          Status gizi
3.        Status Neurosensori
-          Adanya tanda-tanda inflamasi
4.        Keamanan
-          Kejang
-          Kelemahan
5.        Integritas Ego
-          Klien merasa cemas
-          Klien kurang paham tentang penyakitnya

v  Pengkajian Fisik Neurologik :
1.        Tanda – tanda vital:
   Suhu
    Pernapasan
    Denyut jantung
    Tekanan darah
    Tekanan nadi
2.        Hasil pemeriksaan kepala Fontanel :
    Menonjol, rata, cekung
    Bentuk Umum Kepala
3.        Reaksi pupil
   Ukuran
    Reaksi terhadap cahaya
   Kesamaan respon
4.        Tingkat kesadaran Kewaspadaan :
   Respon terhadap panggilan
   Iritabilitas
    Letargi dan rasa mengantuk
    Orientasi terhadap diri sendiri dan orang lain
5.        Afek
   Alam perasaan
   Labilitas
6.        Aktivitas kejang
   Jenis
   Lamanya
7.        Fungsi sensoris
   Reaksi terhadap nyeri
   Reaksi terhadap suhu
8.        Refleks
   Refleks tendo superficial
   Reflek patologi
i.           Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan pada penyakit rabies yaitu:
1.        Elektroensefalogram (EEG) : dipakai untuk membantu menetapkan jenis dan fokus dari kejang.
2.        Pemindaian CT : menggunakan kajian sinar X yang lebih sensitif dri biasanya     untuk mendeteksi perbedaan kerapatan jaringan.
3.        Magneti resonance imaging (MRI) : menghasilkan bayangan dengan menggunakan lapangan magnetik dan gelombang radio, berguna untuk memperlihatkan daerah – daerah otak yang itdak jelas terliht bila menggunakan pemindaian CT.
4.        Pemindaian positron emission tomography (PET) : untuk mengevaluasi kejang yang membandel dan membantu menetapkan lokasi lesi, perubahan metabolik atau alirann darah dalam otak.
5.        Uji laboratorium
    Fungsi lumbal : menganalisis cairan serebrovaskuler
    Hitung darah lengkap : mengevaluasi trombosit dan hematokrit
    Panel elektrolit
    Skrining toksik dari serum dan urin
    GDA
    Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang < 200 mq/dl
   BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
   Elektrolit : K, Na
   Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
    Kalium ( N 3,80 – 5,00 meq/dl )
    Natrium
j.          Diagnosis Banding
1.        Tetanus
2.        Ensefalitis Rabies
3.        Sindroma Guillain Barre,
4.        Transverse myelitis
5.        Japanese ensefalitis
6.        Herpes simpleks ensefalitis
7.        Poliomyelitis atau ensefalitis post vaksinasi
k.        Penatalaksanaan Klinis
1.        Pengobatan luka/prinsip penting dalam perawatan luka rabies. Luka yang kena gigitan kecil dicuci dengan sabun dibawah air yang mengalir.
2.        Pengobatan luka gigitan atau goresan yang mungkin terkontaminasi oleh virus rabies merupakan hal yang sangat penting dan harus dikerjakan dengan segera dan adekuat.
3.        Pemberian serum Anti-Rabies
Dosisnya adalah 40 UI per kg badan, kalau bisa 50% dari calculated close atau sekurang-kurangnya 500 UIdiinflitrasikan sekitar luka.
4.        Pemberian vaksin anti rabies, misalnya: Nerve Tissue Voccine (NTV), duct embryo vaccine (DEV) atau tissue culture vaccine (TCV).
Cara-cara pengobatan:
1.        Luka ringan: 14X suntikan @ 2 ml tiap hari secara subkutan.
Tidak perlu booster, berhasil bila penyimpanan vaksin baik (2-8°C).
2.        Gigitan parah, didaerah leher keatas jari tangan atau genetalia.
§   Anti serum 40 iv kg BB pada hari 1.
§   Vaksinasi 14X @ 2 ml setiap hari secara subkuta.
§   Booster pada hari ke-10, ke-20 dan ke-30 setelah suntikan berakhir.
3.        Bila skin test positif
§   Vaksinasi sebanyak 5X lebih dari 5 hari anjing sehat maka vaksinasi dihentikan.
§   Bila anjing ada gangguan gila atau mati, maka:
§   Vaksinasi sampai 14X + booster ke-10, ke-20, ke-90 setelah suntikan terakhir.
§   Booster pada hari ke-10, ke-20 dan ke-90 suntikan terakhir.

4.        Vaksinasi ulangan jika gigitan anjing yang tersangka gila
§   Jika gigitan terjadi lagi dalam 3 bulan sesudah pengobatan dihentikan.
§   Jika terjadi gigitan lagi antara 3-6 bulan > 2X suntikan vaksin @ 2 ml, selang 1 minggu.
§   Jika lebih 6 bulan terjadi gigitan lagi > 14 X suntikan @ 12 ml secara subtukan tanpa anti serum.
§   Booster pada hari ke-10, ke-20 dan ke-90 setelah suntikan terakhir. Selama pengobatan pasien dilarang olahraga berat atau bekerja berat dan alkohol.
(Sjaifoellah, hal 430-431)

2.        Konsep Dasar Askep
a.         Pengkajian
1)        Indentitas Klien
Nama, Umur, Jenis Kelamin, Alamat.
2)        Riwayat Penyakit
§   Apakah pernah digigit anjing atau kucing?
§   Sudah berapa hari luka gigitan?
§   Daerah tubuh mana yang digigit?
§   Apakah klien pernah diberikan serum anti-rabies atau vaksin anti rabies?
Data dasar pengkajian:
§   Aktivitas atau istirahat gejala: malaise umum.
§   Nyeri atau ketidakmampuan gejala: rasa nyeri dan panas pada daerah luka gigitan.
§   Makanan atau cairan gejala: mual, takut, air, tidak bisa menelan.
§   Integeritas ego gejala: cemas dan takut, emosi labil.
§   Thermoregulasi gejala: demam.
3)        Lingkungan
§   Apakah di lingkungan pasien terdapat binatang yang bisa menyebabkan penyakit rabies, misalnya: anjing, kucing, monyet.
§   Apakah binatang tersebut sudah di vaksin atau belum?
§   Apakah lingkungan pasien merupakan daerah endemic rabies?
b.        Diagnosa Keperawatan
1)        Gangguan thermoregulasi b/d invasi kuman pada SSP
2)        Gangguan rasa nyaman nyeri b/d luka gigitan
3)        Infeksi b/d luka gigitan
4)        Cemas b/d perubahan pola kesehatan
5)        Resti perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d plasma otak rahang
6)        Devisit volume cairan b/d spasme otot rahang
7)        Perubahan sensori perseptual b/d respon emosional berlebihan
c.         Intervensi
Dx I       :    Gangguan thermoregulasi b/d invasi kuman pada SSP
Tujuan   :    Klien akan menunjukan suhu tubuh dalam batas normal
Kriteria  :
§   Badan tidak panas
§   Suhu tubuh 37°C
Intervensi dan Rasionalnya:
1)        Pantau suhu pasien, perhatikan menggigil atau diaphoresis
R/   :    Membantu dalam intervensi dan menentukan diagnosis.         
2)        Anjurkan kepada klien untuk memahami pakaian yang tipis
R/   :    Membantu dalam proses penguapan.
3)        Kolaborasi
R/   :    Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnua pada hipotalamus.

Dx II     :    Gangguan rasa nyaman nyeri b/d luka gigitan
Tujuan   :    Klien akan menunjukan nyeri hilang
Kriteria  :
§   Wajah klien nampak rileks
§   Klien tidak meringis kesakitan
§   Skala nyeri: 1
Intervensi dan Rasionalnya:
1)      Kaji ketidaknyamanan/nyeri
R/   :    Membantu menentukan intervensi.
2)      Anjurkan klien untuk melakukan teknik relaksasi, misal:
R/   :    Menghambat presepsi nyeri.
3)      Lakukan perawatan luka dan pengobatan
R/   :    Mencegah terjadinya infeksi.


4)      Kolaborasi
Pemberian anti serum rabies dan vaksin anti rabies
R/   :    Mencegah terjadinya komplikasi.

Dx III    :    Resiko tinggi infeksi b/d luka gigitan
Tujuan   :    Klien akan menunjukan bebas dari infeksi
Kriteria  :
§   Luka bersih
§   Diameter luka mengecil
§   Tidak ada udem
§   Tidak ada tanda-tanda infeksi
Intervensi dan Rasionalnya:
1)        Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan aktivitas.
R/   :    Mengurangi kontaminasi silang.
2)        Lakukan inspeksi terhadap luka setiap hari.
R/   :    Mencatat tanda-tanda inflamasi/infeksi lokal.
3)        Gunakan teknik steril pada saat perawatan luka
R/   :    Mencegah masuknya bakteri, mengurangi resiko infeksi.
4)        Gunakan sarung tangan pada waktu merawat luka yang terbuka dari kotak langsung
R/   :    Mencegah penyebaran infeksi/kontaminasi silang.
5)        Kolaborasi: berikan antibiotic sesuai intruksi
R/   :    Antibiotik diharapkan efek untuk membunuh kuman.

Dx IV    :    Cemas b/d perubahan pada kesehatan
Tujuan   :    Klien akan menunjukkan cemas berkurang
Kriteria  :   
§   Cemas berkurang



Intervensi dan Rasionalnya:
1)        Berikan kesempatan pada klien untuk mengekspresikan perasaan takut dan cemas
R/   :    Pernyataan masalah menurunkan ketegangan mengklasifikasi tingkat koping dan memudahkan pemahaman perasaan.
2)        Beri penjelasan hubungan antara proses penyakit dan gejalanya
R/   :    Peningkatan pemahaman, mengurangi rasa takut karena ketidaktahuan dan dapat menurunkan ansietas.
3)        Berikan dukungan positif
R/   :    Meningkatan perasaan akan keberhasilan dalam penyembuhan.

Dx V     :    Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan b/d spasma otot rahang.
Tujuan   :    Klien akan menunjukkan pemasukan nutrisi yang adekuat.
Kriteria  :
§   Klien bisa makan
§   Berat badan meningkat
§   Porsi makan dihabiskan
§   Tidak ada keluhan mual muntah
Intervensi dan Rasionalnya:
1)        Kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan
R/   :    Faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
2)        Timbang berat badan sesuai indikasi
R/   :    Mengevaluasi keefektifan/kebutuhan mengubah nutrisi.
3)        Berikan makanan lunak dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan teratur
R/   :    Meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien terhadap nutrisi yang diberikan.

4)        Kolaborasi
Ø  Konsultasi dengan ahli gizi
R/    :    Merupakan sumber yang efektif untuk mengidentifikasikan kebutuhan kalori/nutrisi.
Ø  Berikan makanan melalui selang NGT bila tidak bisa peroral
R/    :    Memudahkan pasien untuk menelan.

Dx VI    :    Defisit volume cairan b/d spasme otot rahang
Tujuan   :    Klien akan menunjukan volume cairan yang adekuat
Kriteria  :
§   Turgor kulit baik
§   Membran mukosa lambat
§   Berat badan normal
§   Pasien mau minum sesuai toleransi
Intervensi   :
1)        Awasi tanda vital, pengisian kapiler, membran mukosa turgor kulit
R/   :    Indikator keadekuatan volume sirkulasi.
2)        Berikan cairan peroral.
R/   :    Menggantikan cairan yang kurang.

3)        Timbang berat badan
R/   :    Indikator cairan dan staut nutrisi
4)        Kolaborasi
R/   :    Mengganti cairan untuk memperbaiki cairan.

Dx VII  :    Perubahan sensori perseptual b/d respon emosional berlebihan
Tujuan   :    Klien mampu menunjukkan tingkat kesadaran umum
Kriteria  :   
§   Tidak marah
§   Tidak cemas
§   Tidak takut
§   Tidak liar
Intervensi  :
1)        Kaji tingkat kesadaran
R/   :    Bicara mungkin kacau, emosi labil, karena ketidakmampuan koordinasi.
2)        Observasi respon tingkah laku, mudah marah, disorientasi, pada rangsang
R/   :    Hiperaktivitas karena gangguan SSP dapat bereaksi dengan cepat.
3)        Ciptakan lingkungan yang tenang
R/   :    Mengurangi stimulasi eksternal selama tingkat hiperaktif.
4)        Secara berulang kali lakukan orientasi pada orang, tempat dan lingkungan sekitar sesuai petunjuk.
R/   :    Mengurangi ansietas.
d.        Implementasi
Tindakan dilaksanakan sesuai intervensi keperawatan.
e.         Evaluasi
Berdasarkan tujuan dari kriteria hasil.
f.          Pendidikan Kesehatan
1)        Anjurkan klien untuk menjauhi binatang seperti anjing, kucing, monyet dan kelelawar.
2)        Bila terkena gigitan segera cuci lukanya dengan sabun dan dibawa ke Puskesmas atau RS terdekat untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut.
3)        Bila dirumah ada binatang sebaiknya diikat atau dikandangkan dan diberikan vaksinasi oleh mantra hewan atau dokter hewan.




BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
Virus rabies merupakan virus yang sangat fatal apabila terpapar. Penularannya bisa melalui gigitan, luka pada kulit, membram mukosa. Pencegahan dapat dilakukan pada hewan dan manusia yang berupa vaksinasi maupun pemusnahan hewan yang terkena rabies. Dapat juga kita melakukan pencegahan terhadap virus rabies melalui kontrol terhadap vaksinasi dan hewan liar yang berkeliaran disekitar lingkungan kita.

B.       Saran
1.         Buat masyarakat :
Ø  Diharapkan kepada masyarakat agar lebih waspada terhadap bahaya penyakit rabies dengan cara memberikan vaksin secara teratur terhadap binatang peliharaan yang dapat menularkan virus rabies seperti (anjing, monyet, dll).
Ø  Bila terkena gigitan binatang tersebut diharapkan agar segera melakukan pencegahan dengan cara :
Memberikan vaksin, Vaksinasi memberikan perlindungan seumur hidup. Tetapi kadar antibodi akan menurun, sehingga orang yang berisiko tinggi terhadap penyebaran selanjutnya harus mendapatkan dosis buster vaksinasi setiap 2 tahun.
2.         Penulis menyadari bahwa makalah ini kurang sempurna maka kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan sehingga makalah ini dapat berguna bagi kita semua.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar