Minggu, 16 Oktober 2016

Asuhan Keperawatan Epilepsi



BAB I
PENDAHULUAN


A.          Latar Belakang
Epilepsi merupakan salah satu penyakit syaraf yang sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki – laki sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Epilepsi itu sendiri didefenisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda – tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron – neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi.
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5% - 2%. Di Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan namun bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan maka dapat diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan ditemukan antara 1,1 sampai 4,4, juta penderita penyandang epilepsi.
Upaya yang harus dilakukan dalam mengatasi penyakit epilepsi sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu dari berbagai pihak baik itu dari keluarga, masyarakat dan petugas kesehatan agar dapat bebas dari serangan epileptik.

B.           Tujuan Penulisan
1.      Tujuan Umum      :    mahasiswa/i keperawatan dapat memahami konsep Dasar Teori dari Epilepsi.
2.      Tujuan Khusus     :
a.       Mengidentifikasi pengkajian pada klien dengan Epilepsi.
b.      Mengidentifikasi masalah keperawatan pada pada klien dengan Epilepsi.
c.       Mengidentifikasi intervensi keperawatan pada pada klien dengan Epilepsi.
d.      Mengidentifkasi tindakan keperawatan pada klien dengan Epilepsi.
e.       Mengidentifikasi evaluasi keperawatan pada klien dengan Epilepsi.



C.          Metode Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini yaitu dengan             “studi kepustakaan”  dengan mempelajari buku – buku dan sumber lain yang berhubungan dengan Epilepsi.

D.          Sistematika Penulisan
Makalah ini disusun secara sistematis, terdiri dari 3 Bab yaitu :
Bab I      :    Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika Penulisan.
Bab II     :    Tinjauan Pustaka terdiri dari Konsep Dasar Medis dan Konsep Dasar Askep.
Bab III   :    Penutup terdiri dari Kesimpulan dan Saran.






















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.          KONSEP DASAR  MEDIS
1)    Pengertian
Epilepsi adalah   :    Suatu gangguan fungsional kronik dan banyak jenisnya dan ditandai oleh serangan yang berulang (Price A. Sylvia, 2005).
Epilepsi adalah   :    Gejala kompleks dari banyak gangguan fungsi tepat otak yang di karakteristik oleh kejang berulang – ulang, keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan  gangguan berlaku, alam perasaan, sensasi, persepsi, sehingga epilepsi bukan suatu penyakit tetapi gejala. (Brunner & Suddarth, 2001).

2)    Etiologi
a.    Idiopatik; sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsi idiopatik
b.    Faktor herediter; adalah beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai bangkitan kejang seperti sklerotis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis ensefalotrigeminal. Fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikimia.
c.    Faktor genetic; pada kejang deman dan breath holding spells
d.   Kelainan congenital otak; atrofi, porensefasi, agenesis, korpus kalosum
e.    Gangguan metabolic; hipoglikimia, hipokalsemia, hiponatremia,    hipernatremia
f.     Infeksi; radang yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya toksolakmosis
g.    Trauma; kontosio serebri, hematoma subraknoid, hematema subdural
h.    Neoplasma otakadan selaputnya
i.      Kelainan pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
j.      Keracunan; timbal(Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
k.    Lain-lain; penyakit darah , gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral, dan lain-lain



3)    Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ialah faktor yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
a.    Faktor sensoris: cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan air panas
b.    Faktor sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot tertentu misalnya golongan fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
c.    faktor mental: stress, gangguan emosi

4)    Klasifikasi Epilepsi
a.       Berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi)
1.      Serangan Persial
a.       Serangan persial sederhana (kesadaran baik)
-          Dengan gejala motorik
-          Dengan gejala sensorik
-          Dengan gejala otonom
-          Dengan gejala psikis
b.      Serangan persial kompleks (kesadaran terganggu)
-          Serangan persial sederhana diikuti dengan gangguan kesadaran
-          Gangguan kesadaran saat awal serangan
c.       Serangan umum sederhana
-          Persial sederhana menjadi tonik – tonik
-          Persial kompleks menjadi tonik – tonik
2.      Serangan Umum
a.       Absans (Lena)
b.      Mioklonik
c.       Klonik
d.      Tonik
e.       Atonik (Astatik)
f.       Tonik – Klonik 
3.      Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan data yang kurang lengkap)
Klasifikasi ILAE tahun 1981 diatas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama yaitu :
-       Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak.
-       Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak. 
b.      Klasifikasi menurut Sindroma Epilepsi
1.      Berkaitan dengan letak fokus
a.       Idiopatik
-          Epilepsi Rolandik Benigna (Childhood epilepsi with centro tempora spike)
-          Epilepsi pada anak dengan paroksimal oksipital.
b.      Simptomatik
-          Lobus temporalis
-          Lobus frontalis
-          Lobus parientalis
-          Lobus oksipitalis
2.      Umum
a.       Idiopatik
-          Kejang neonatus familial benigna
-          Kejang neonatus benigna
-          Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
-          Epilepsi absans pada anak
-          Epilepsi absans pada remaja
-          Epilepsi mioklonik pada remaja
b.      Simptomatik
-          Sindroma west (spasmus infantile)
-          Sindroma lennox Gastaut
3.      Berkaitan dengan lokasi dengan epilepsi umum (campuran idanz)
-    Serangan neonatal
4.      Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
-    Kejang demam
-    Berkaitan dengan alkohol
-    Berkaitan dengan obat – obatan
-    Eklampsia
-    Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik (reflex epilepsi)
5)    Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui implus listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotrasmiter.
Dalam keadaan normal lalu lintas implus antar neuron berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu lintas antar neuron menjadi kacau kalau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka neuron – neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotrasmiter yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah :
-          Glutamat yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter.
-          GABA (Gama Aminobytiric Acid) yang bersifat sebagai brain’s inbitory neurotransmitter.
Golongan neurotransmitter lain yang bersifat eksitatonik aspartat dan astelin kolin sedangkan yang bersifat inhinitonik lainnya adalah noradrenalin, dopamine serotonin (5 – HT) dan peptide. Neurotrasmiter ini hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih lanjut.
Epileptik seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga terjadilah apapun yang disebut sinkronisasi dari implus. Sinkronisasi ini dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis – jenis serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu :
-       Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara berlebihan disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi ternyata mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post sinapatik.
-       Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi pelepasan impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamate di otak. Pada penderita epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamate pada berbagai tempat di otak.
-       Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada tiga kejadian yang saling berkaitan :
-       Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan intrinsik dari sel untuk menimbulkan bangkitan.
-       Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel neuron.
-       Perlu sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai Fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersamaan dan serentak dalam waktu saat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain – lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang) dan akan  menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hiperkarnia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain – lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya ekspolarisasi impuls dari fokus epileptogenesis, mula – mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemister sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian untuk bersama – sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibinisi di korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermitan menghambat discharge epileptiknya, pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan diri polispike menjadi spike and ware yang makin lama makin lambat dan akhirnya berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya exhaustion neuron (karena kehabisan glukosa dan timbulnya asam laktat). Namun ternyata serangan epilepsi dapat berhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglukemia otak, hipoksia otak, acidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berjalan terus sehingga menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.


6)    Manifestasi Klinis
a.       Kejang Parsial Simplek
Dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini tetap terbatas di daerah tersebut.
Penderita mengalami sensasi gerakan atau kelainan psikis yang abnormal, tergantung pada daerah otak yang terkena.
Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan akan bergoyang dan mengalami sentakan : jika terjadi pada lobus temporalis anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sempat menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami kelainan psikis bisa mengalami de ja vu (merasa pernah mengalami keadaan sekarang di masa yang lalu).
b.      Kejang Jacksonian
Gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan atau kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan penyebaran aktivitas listrik ditolak.
c.       Kejang Parsial (Psikomotor) kompleks
Dimulai dengan hilangnya kontak penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1 – 2 menit. Penderita menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan tanpa tujuan, mengeluarkan suara – suara yang tak berarti, tidak mampu memahami apa yang orang lain katakana dan menolak bantuan.
Kebingungan berlangsung selama beberapa menit dan diikuti dengan penyembuhan total.
d.      Kejang Konvulsif
Biasanya dimulai dengan kelainan listrik pada daerah otak yang terbatas. Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.
e.       Epilepsi Primer Generalisata
Ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak yang luas, yang sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis epilepsi ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada kejang konvulsif, terjadi penurunan kesadaran sementara kejang otot yang hebat dan sentakan – sentakan di seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi dikatupkan kuat – kuat  dan hilangnya pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala, linglung. Sementara dan merasa sangat lelah, biasanya penderita tidak dapat mengingat apa yang terjadi selama kejang.  
f.       Kejang Petit Mal
Dimulai pada masa kanak – kanak, biasanya sebelum usia 5 tahun.                   Tidak terjadi kejang dan gejala dramatis lainnya dari grand mal. Penderita hanya menatap, kelopak makanya bergetar atau otak wajahnya berkedut – kedut selama 10 – 30 detik. Penderita tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh, pingsan maupun menyentak – nyentak.
g.      Status Epiletikus
Merupakan kejang – kejang paling serius, dimana kejang terjadi terus menerus, tidak berhenti. Konstraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernapas sebagaimana mestinya dan muatan listrik didalam ototannya menyebar luas. Jika tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap dan penderita bisa meninggal.
®  Gejala kejang berdasarkan sisi otak yang terkena :
      Sisi otak yang terkena dan gejalanya :
1.      Lobus frontalis       :    kedutan pada otak tertentu
2.      Lobus oksipitalis     :    Halusinasi kilauan cahaya
3.      Lobus parientalis    :    Mati suri atau kesemutan di bagian tubuh tertentu
4.      Lobus temporalis    :    Halunisasi gambaran atau perilaku relaktif yang kompleks misalnya jalan berputar – putar
5.      Lobus temporalis    :    Gerakan mengunyah
anterior
6.   Lobus temporior
anterior sebelah       :    Halunisasi bau, baik yang menyenangkan dalam maupun yang tidak menyenangkan.
7)    Pemeriksaan Penunjang
a.       EEG (elektroense falogram)
Merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak. Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko. Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam otak. Sebelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk menentukan penyebab yang bisa diobati.
Pemeriksaan daerah rutin dilakukan untuk :
-          Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah.
-          Menilai fungsi hati dan ginjal.
-    Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang meningkat menimbulkan adanya infeksi)
b.      EKG (Elektrokardiogram)
Dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai akibat dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang mengalami pingsan.
c.       Pemeriksaan CT Scan dan MRI
Dilakuakn untuk menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan karena cedera kepala.
d.      Fungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi infeksi otak

8)    Diagnosis Banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguna sepintas peredaran darah otak, hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi, pavor nokturnus, paralysis tidur, migren

9)    Penatalaksanaan
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu jika keadaan tersebut sudah teratasi, maka terjadinya kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti kejang untuk mencegah kejang lanjutan.                       Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasa hanya mengalami kejang kambuhan.
Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti kejang diberikan dalam dosis tinggi secara intervena.
Obat anti kejang sangat efektif, tapi juga bisa menimbulkan efek samping. Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak – anak menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk mengetahui fungsi ginjal, hati dan sel – sel darah.
Obat anti kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat lain berlawanan dengan obat anti kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter karena bisa mengubah jumlah obat anti kejang di dalam darah. 
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang bantal di bawah kepala penderita.
              Jika penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dibaringkan agar lebih mudah bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar – benar sadar dan bisa bergerak secara normal.
Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan untuk mengangkat serat – serat saraf yang menghubungkan kedua sel otak (korpus kalosum).
Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengobati epilepsi atau efek sampingnya tidak dapat ditoleransi.
*        Obat – obatan yang digunakan untuk mengobati kejang
No.
Jenis Epilepsi
Efek samping yang mungkin terjadi
Karboma zepin

Etoksimid

Gobapentin
Lomotrigin
Fenobarbitol
Fenitoin
Primidan
Valpioat
Generalisata, parsial

Fotit mal

Parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Kejang infantil,
Potitmal
Jumlah sel darah putih dan sel darah merah berkurang
Jumlah sel darah putih dan sel darah merah berkurang
Tenang
Ruam kulit
Tenang
Pembengkakan gusi
Tenang
Penambahan berat badan
Rambut rontok


Penatalaksanaan status epileptikus
a)       Lima menit pertama
Ø  Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas serangan atau satu serangan berikutnya.
Ø  Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur posisi kepala dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
Ø  Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada kelaianan.
Ø  Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa gula darah, kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan biaya).
b)      Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml glukosa 50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg tiamin intravena.
c)      Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5 mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d)     Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit pada dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama pemberian.
e)      Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit. Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a)    Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari penonton yang ingin tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari  tempat yang aman dan pribadi
b)   Pasien di lantai jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cedera dari membentur permukaan yang keras.
c)    Lepaskan pakaian yang ketat
d)   Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien selama kejang.
e)    Jika pasien di tempat tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
f)    Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g)   Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h)   Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama kejang karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i)     Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu sisi dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk membersihkan secret
j)     Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus diorientasikan terhadap lingkungan   


10)     Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit                  2 tahun dan bila lebih dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami sawan lagi, dikatkan telah menglami remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak akan menglami remisi meskipun minum obat teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia muda lebih mudah menglami relaps sesudah remisi.





Patofisiologi b/d Penyimpangan KDM

Etiologi


 
           
Idiopatik                                                                      Stomatik/sekunder(cedera
kepala, hipoglikemia, gangguan
metabolisme dan nutrisi,
alkohol,
ensefalitis,anoxia)
 

                                               
Gangguan pada otak, lesi pada mesenflon, thalamus
                                                korteks selebri
Pusat koordinasi perna
pasan pd batang otak
terganggu
                                                Ketidakstabilan membran sel saraf sehingga sel lebih
Spasme otot pernapasan                      mudah diaktifkan
  


 
                                                Neuron hipersensitif dan ambons yang menurun
Hipoksia sistemik                    mudah terangsang polarisasi yang abnormal
asidosis


 
                                                Ketidakseimbangan ion yang mengubah lingkungan
tidak adekuat suplay O2,
nutrisi untuk paru
           
    Sesak napas
           
                                                            kimia neuron
G3 Pola Napas
 

                                                PA Pelepasan Asetilkolin


 


                                                Asetilkain merembes dari permukaan otak








 


                                                Menurunkan potensial membran sel                Anggapan bahwa
                                                                                                                        epilepsi adalah
                                                                                                                        penyakit
                                                Terlepasnya muatan listik ber>                                    keturunan
                                   
Epilepsi
 
                                                                                                                                   
                                                                                                                        Bahan pmbicaraan
                                                                                                                        orang  
Penurunan kesadaran               Perubahan status kesehatan                            
untuk mempertahankan                                                                                  
tubuh dalam posisi                                                                                           Stigma
tegak                                        Koping individu inefektif                               







G3 harga diri
 

 
Resiko Cedera
 
                                                Kurang terpanjang info
                                                tentang penyakit


Kurang pengetahuan
 
 


A.          KONSEP DASAR  ASKEP
I.     Pengkajian
Data fokus yang perlu dikaji
a.      Riwayat Kesehatan
1)       Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat dilakukan pengkajian
2)       Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang diderita pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan )
3)       Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan seperti ini terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan obat-obat tertentu/alkoholik)
4)       Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain baik bersifat genetik maupun tidak
5)       Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah laku, emosi apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar, adakah aura yang mendahului serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
b.      Pemeriksaan Fisik
1)      Keadaan umum
2)      Pemeriksaan Persistem
a)     Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah, mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada satu posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah pada satu posisi/keduanya
b)     Sistem Persyarafan
Ø   Selama serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan kesadaran / lena? Disertai komponen motorik seperti kejang tonik,            klonik, mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai
Ø   Proses Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan bicara, hemiplegi sementara, ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi cidera selama kejang (memer, luka gores)
c)     Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan pernafasan (nafas yang dalam)
d)    Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan denyut jantung
e)     Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi inkontinensia feses, nausea
f)      Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g)     Sistem Reproduksi
h)      Sistem Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c.      Pola Fungsi Kesehatan
1)       Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga mengenai program pengobatan pasien, keamanan lingkungan sekitar
2)       Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera pada saat serangan)
3)       Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien mengalami nansea
4)       Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi inkontinensia urin dan atau feses
5)       Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi adalah kurangnya istirahat/tidur
6)       Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi, pasien merasa dirinya berubah
7)       Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8)       Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan gangguan emosi
9)       Pola sexual reproduksi
10)   Pola hubungan dan peran
11)   Pola nilai dan kenyakinan

II.    Diagnosa Keperawatan
1.   Resiko cedera b/d kelemahan keseimbangan, keterbatasan kognitik/perubahan kesadaran.
2.   Pola napas tidak efektif b/d kerusakan neuromukuler, obstruasi trakeobronkial.
3.   Gangguan harga diri b/d stisma.
4.   Kurang pengetahuan b/d kurang kekurangan informasi.

III.  Intervensi Keperawatan
Dx. I.            :    Resiko cedera b/d kelemahan kesulitan keseimbangan keterbatasan kognitif/perubahan kesadaran.
Tujuan          :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kita dapat mengungkapkan pemahaman faktor dan menunjang kemungkinan trauma.
Hasil             :    Perubahan gaya hidup untuk mengurangi faktor resiko dan melindungi diri dari cedera.
Intervensi     :
1)   Gali bersama – sama pasien brbagai stimulus yang dapat menjadi pencetus kejang.
R/  :    Alkohol berbagai obat dan stimulasi lain (kurang tidur, lampu yang terlalu terang, menonton TV yang terlalu lama) dapat meningkatkan aktivitas otak yang selanjutnya meningkatkan resiko kesadarannnya kejang.
2)   Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur yang terpasang dengan posisi tempat tidur yang rendah.
R/  :    Mengurangi trauma saat kejang terjadi selama pasien berada di tempat tidur.
3)   Anjurkan pasien untuk merokok selama dapat diawasi.
R/  :    Mungkin dapat menyebabkan robekan jika rokok tersebut terjatuh. Secara tidak disengaja selama fase aura (aktivitas kejang yang terjadi).

4)   Evaluasi ketahanan untuk berikan pandangan pada kepala.
R/  :    Penggunaan penutup kepala (semacam helm) dapat memberikan pandangan tambahan terhadap seseorang yang mengalami kejang terus menerus/kejang berat.
5)   Tanggalah bersama klien dalam waktu beberapa lama selama/setelah kejang.
R/  :    Meningkatkan keamanan pasien.
6)   Kolaborisasi.
Berikan obat sesuai indikasi (obat anti epilepsi) meliputi karboma zepam, klorozepam.
Dx. II.          :    Pola napas tidak efektif b/d kerusakan neuromuskuler, obstruksi frakeabrokal.
Tujuan          :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat menunjukkan pola napas yang efektif.
Hasil             :    Klien dapat mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan napas paten.
Intervensi     :
1)   Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar, miringkan kepala selama serangan kejang.
R/  :    Meningkatkan darah (drainase) secret, mencegah udara jatuh dan menyambut jalan napas.
2)   Tanggalkan pakaian pada daerah leher /dada dan abdomen.
R/  :    Untuk memfasilitasi usaha bernapas/ekspresi dada.
3)   Masukkan spodel lidah/jalan napas buatan atau gulungan benda lunak sesuai indikasi.
R/  :    Jika memasukkannya di awal untuk membuka rahang, alat ini dapat mencegah tergigitnya lidah dan memfasilitasi saat melakukan pengisapan lendir/memberi sokongan terhadap pernapasan jika diperlukan.
4)   Lakukan pengisapan sesuai indikasi.
R/  :    Menurunkan resiko aspirusi/astiksia.
5)   Kolaborasi : Berikan tambahan O2/ventilasi manual sesuai kebutuhan pada fase posktal.
R/  :    Dapat menurunkan hipoksia serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun/O2 sekunder terhadap spasme vesikuler selama serangan kejang.
Dx. III.         :    Gangguan harga diri b/d stiqma.
Tujuan          :    Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien dapat mengidentifikasi perasaan dan metode untuk koping dan persepsi negatif pada diri sendiri.
Hasil             :    - Pengungkapan tentang perubahan gaya hidup.
                           - Takut penolakan/perasaan negatif tentang tubuh.
Intervensi     :
1)   Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik. Persepsi diri terhadap penanganan yang dilakukannya, anjurkan untuk mengungkapkan/ mengekspresikan wajahnya.
R/  :    Reaksi yang ada bervariasi diantara individu dan pengetahuan/pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya.
2)   Identifikasi/antisipasi kemungkinan reaksi organ pada keadaan penyakit, anjurkan pasien untuk tidak merahasiakan masalahnya.
R/  :    Memberikan kesempatan untuk berespon pada proses pemecahan masalah dengan memberikan tindakan kontrol terhadap situasi yang dihadapi.
3)   Tentukan sikap/kecakapan orang terdekat. Bantu ia menyadari perasaan tersebut adalah normal sedangkan merasa bersalah.
R/  :    Pandangan negatif dari orang terdekat dapat berpengaruh terhadap perasaan kemampuan harga diri pasien dengan mengurangi dengan terima dari orang terdekat tersebut yang mempunyai resiko membatasi penanganan yang optimal.
4)   Tekankan pentingnya staf/orang terdekat untuk tetap dalam keadaan tenang selama kejang.
R/  :    Ansietas dari pemberi asuhan adalah menjalar dan bila sampai pada pasien dapat meningkatkan persepsi negatif terhadap keadaan lingkungan/diri sendiri.



5)   Kolaborasi
Rujuk pasien atau orang terdekat pada kelompok penyokong, yayasan            epilepsi dsb.
R/  :    Memberikan kesempatan untuk mendapatkan invervasi dukungan dan ide – ide untuk mengatasi masalah dari orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Dx. IV.         :    Kurang pengetahuan b/d kurangnya informasi.
Intervensi     :
1)   Jelasakan kembali mengenai/prosnesis penyakit dan perlunya pengobatan/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi.
R/  :    Memberikan kesempatan untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sebagai sesuatu yang dapat ditangani dalam cara hidup yang normal.
2)   Tinjau kembali obat – obat yang didapat penting sekali memakan obat sesuai petunjuk dengan tidak menghentikan pengobatan tanpa pengawasan dokter, termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis.
R/  :    Tak adanya pemahaman terhadap obat – obat yang dapat merupakan penyebab dari kejang yang terus menerus tanpa henti.
3)   Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum obat bersamaan dengan waktu makan jika memungkinkan.
R/  :    Dapat menurunkan iritasi lambung, mual/muntah.
4)   Berikan informasi tentang interaksi obat yang potensial dan pentingnya untuk memberi tahu pemberi perawatan yang lain dari pemberian obat tersebut.
R/  :    Pengetahuan mengenai penggunaan obat anti konuvisan menemukan resiko obat yang diresepkan yang dapat berinteraksi selanjutnya mengubah ambang slekang/memilki efek berapeutik.
5)   Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan hormonal.
R/  :    Gangguan kadar hormonal yang terjadi selama menstruasi dan kehamilan dapat meningkatkan resiko kejang.
6)   Tinjau kembali pentingnya keberhasilan mulut dan perawatan gigi yang teratur.
R/  :    Menurunkan resiko infeksi mulut dan hyperplasia dari gusi.


IV.  Implementasi
        Sesuai dengan intervensi.

V.    Evaluasi
        Sesuai dengan tujuan.





























BAB III
PENUTUP

A.          Kesimpulan
Epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda – tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron – neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Dimana sekitar 70 % kasus epilepsi tidak diketahui penyebabnya yang dikelompokkan sebagai epilepsi simptomatik misalnya karena trauma kepala, infeksi, congenital, gangguan peredaran darah otak.
Bila salah satu orang tua epilepsi maka kemungkinan 4 % anaknya akan mengidap epilepsi sedangkan bila kedua orangtuanya epilepsi maka kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20 % - 30 %.
Pengobatan yang diberikan apabila penyebabnya adalah tumor atau infeksi maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu dimana jika keadaan tersebut sudah teratasi maka kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan, jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan maka diperlukan obat anti kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan. 

B.           Saran
1.     Bagi pasien Epilepsi
*        Bagi penderita epilepsi obat anti kejang harus diminum secara teratur berdasarkan resep dari dokter serta harus kontrol ke pelayanan kesehatan secara teratur.
*        Bagi keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi dimana langkah penting adalah menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaian dan memasang bantal di bawah kepala penderita.
2.     Bagi perawat
*        Harus mempelajari sehingga dapat memahami tentang penyakit epilepsi.
*        Mampu mengenali tanda dan gejala dari penyakit epilepsi sehingga dapat menentukan masalah keperawatan yang sesuai dengan keluhan pasien dan menentukan rencana serta tindakan yang tepat pada pasien epilepsi.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth, 2001. KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH EDISI 8 VOLUME 3, EGC; Jakarta.

Doenges E. Marylin, 2000. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN EDISI 3, EGC: Jakarta.

Price A. Sylvia, 2005. PATOFISIOLOGI KONSEP KLINIS PROSES – PROSES PENYAKIT EDISI 6. EGC; Jakarta.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar