Rabu, 19 Oktober 2016

Asuhan Keperawatan Disseminated Intravascular Coagulation (DIC)



I.       KONSEP MEDIS
A.    Definisi DIC
~     Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan- bekuan darah kecil tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan perdarahan. (medicastore.com).
~     Disseminated Intravascular Coagulation adalah suatu sindrom yang ditandai dengan adanya perdarahan/kelainan pembekuan darah yang disebabkan oleh karena terbentuknya plasmin yakni suatu spesifik plasma protein yang aktif sebagai fibrinolitik yang di dapatkan dalam sirkulasi (Healthy Cau’s)
~     Secara umum Disseminated Intavascular Coagulation (DIC) didefinisikan sebagai kelainan atau gangguan kompleks pembekuan darah akibat stirnulasi yang berlebihan pada mekanisme prokoagulan dan anti koagulan sebagai respon terhadap jejas/injury (Yan Efrata Sembiring, Paul Tahalele)
~     Kesimpulan : DIC adalah penyakit dimana faktor pembekuan dalam tubuh berkurang sehingga terbentuk bekuan-bekuan darah yang tersebar di seluruh pembuluh darah.
B.     Mekanisme Hemostasis normal
Sistem pembuluh darah membentuk suatu sirkuit yang utuh yang mempertahankan darah dalam keadaan cair. Jika terdapat kerusakan pada pembuluh darah, trombosit dan sistem koagulasi akan menutup kebocoran atau kerusakan tersebut sampai sel pada dinding pembuluh darah memperbaiki kebocoran tersebut secara permanen. Proses ini meliputi beberapa tahap/faktor, yaitu;
1.      Interaksi pembuluh darah dengan struktur penunjangnnya.
2.      Trombosit dan interaksinya dengan pembuluh darah yang mengalami kerusakan.
3.      Pembentukan fibrin oleh sistem koagulasi.
4.      Pengaturan terbentuknya bekuan darah oleh inhibitor/penghambat faktor pembekuan dan sistem fibrinolisis.
5.      Pembentukan kembali (remodeling) tempat yang luka setelah perdarahan berhenti. Tahap 1 dan 2 dikenal sebagai hemostasis primer. Sel endotel pada dinding pembuluh darah mempunyai mekanisme untuk mengatur aliran darah dengan cara vasokontriksi atau vasodilatasi, sedangkan membran basal subendotel mengandung protein-protein yang berasal dari endotel seperti kolagen, fibronektin, faktor von Willebrand dan lain-lain, yang merupakan tempat melekatnya trombosit dan leukosit. Trombosit akan membentuk sumbat hemostasis melalui proses: 1) adhesi (adhesion), yaitu melekat pada dinding pembuluh darah: 2) agregasi atau saling melekat di antara trombosit tersebut, yang kemudian menjadi dilanjutkan dengan proses koagulasi.
Tahap 2 atau sistem koagulasi melibatkan faktor pembekuan dan kofaktor yang berinteraksi pada permukaan fosfolipid membran trombosit atau sel endotel yang rusak untuk membentuk darah yang stabil. Sistem ini dibagi menjadi jalur ekstrinsik yangn melibatkan faktol jaringan (tissue factor) dan faktor VII, dan jalur instrinsik (starface-contact factor). Sistem ini diaktifkan jika faktor jaringan, yang diekspresikan pada sel yang rusak atau teraktivasi (sel pembuluh darah atau monosit) berkontak dengan faktor VII aktif (a) yang bersikulasi, membentuk kompleks yang selanjutnnya akan mengaktifkan faktor X menjadi Xa dan seterusnya hingga membentuk trombus/fibrin yang stabil (fibrin ikat silang /cross-linked fibrin).
Setelah fibrin terbentuk, antikoagulan alamiah berperan untuk mengatur dan membatasi pembentukan sumbat hemostasis atau trombus pada dinding pembuluh darah yang rusak tersebut. Sistem ini terdiri dari antirombin (AT)-III, protein S, serta heparin kofaktor II, alfa-1 antirifsin dan alfa-2 makroglobulin. Antirombin bekerja menghambat atau menginaktivasi trombin, faktor VIIa, XIIa, Xia, Xa, dan Ixa. Tanpa adanya heparin, kecepatan inaktivasi ini reelatif lambat. Heparin mengikat dan mengubah AT dan meningkatkan kecepatan inaktivasi AT. Sedangkan protein C menghambat faktor Va dan VIIIa, dengan bantuan protein S sebagai kofaktor.
Fibrinolisis atau pemecahan fibrin merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk mempertahankan patensi pembuluh darah dan menormalkan aliran darah. Enxim yang berperan dalam sistem ini adalah plasminogen, yang akan diubah menjadi plasmin dan kemudian akan memecah fibrinogen dan fibrin menjadi fibrinogen(atau fibrin) degradation product (FDP), sedangkan produk pemecahan fibrin ikat silang adalah D-dimer.
C.     Etiologi DIC
KID merupakan mekanisme perantara berbagai penyakit dengan gejala klinis tertentu. Berbagai penyakit dapat mencetuskan KID fulminan atau derajat rendah seperti di bawah ini:
1.      Penyakit yang disertai KID fulminan
a.       Bidang obstetric: emboli cairan amnion, abrupsi plasenta, eklamsia,abortus
b.      Bidang hematologi: reaksi transfusi darah,hemolisis berat,transfuse massif, leukemia M3 & M4
c.       Infeksi
1)      Septicemia,gram negative (endotoksin),gram negative (mikro polisakarida)
2)      Viremia : HIV,hepatitis,varisela,virus sitomegalo,demam dengue
3)      Parasit : Malaria
4)      Trauma
5)      Penyakit hati akut : gagal hati akut ,ikterus obstruktif
6)      Luka bakar
7)      Alat prosthesis : shunt leveen shunt denver,alat bantu balon aorta
8)      Kelaian vascular
2.      Penyakit di sertai KID derajat
a.       Keganasan
b.      Penyakit kardiovaskular
c.       Penyakit autoimun
d.      Penyakit ginjal menahun
e.       Peradangan
f.       Graft versus host disease
g.      Penyakit hati menahun

D.    Patofisiologi DIC
Emboli cairan amnion yang disertai KID sering mengancam jiwa dan dapat menyebabkan kematian. Gejala KID karena emboli cairan amnion yaitu gagal nafas akut, dan renjatan. Pada sindrom mati janin dalam uterus yang lebih dari 5 minggu yang ditemukan KID pada 50% kasus. Biasanya pada permulaan hanya KID derajat rendah dan kemudian dapat berkembang cepat menjadi KID fulminan.Dalam keadaan seperti ini nekrosis jaringan janin, dan enzim jaringan nekrosis tersebut akan masuk dalam sirkulasi ibu dan mengaktifkan sistem koagulasi dan fibrinolisis,dan terjadi KID fulminan.
Pada kehamilan dengan eklamsia ditemukan KID derajat rendah dan sering pada organ khusus seperti ginjal dan mikrosirkulasi plasenta. Namun perlu diingat bahwa 10-15% KID derajat rendah dapat berkembang menjadi KID fulminan. Abortus yang diinduksi dengan garam hipertonik juga sering disertai KID derajat rendah, sampai abortus komplet, namun kadang dapt menjadi fulminan.
Hemolisis karena reaksi transfusi darah dapat memicu sistem koagulasi sehingga terjadi KID. Akibat hemolisis,sel darah merah (SDM) melepaskan adenosine difosfat (ADP) atau membrane fosfolipid SDM yang mengaktifkan sistem koagulasi baik sendiri maupun secara bersamaan dan menyebabkan KID. Pada septikimia KID terjasi akibat endotoksin atau mantel polisakarida bakteri memulai koagulasi dengan cara mengaktifkan factor F XII menjadi FXIIa,menginduksi pelepasan reaksi trombosit,menyebabkan endotel terkelupas yang dilanjutkan aktivasi F XII men F X-Xia,dan pelepasan materi prokoagulan dari granulosit dan semuanya ini dapat mencetuskan KID.Terakhir dilaporkan bahwa organism gram positif dapat menyebabkan KID dengan mekanisme seperti endotoksin, yaitu mantel bakteri yang terdiri dari mukopolisakarida menginduksi KID.
E.     Gejala Klinis
Gejala klinis bergantung pada penyakit dasar,akut atau kronik,dan proses patologis yang mana lebih utama,apakah akibat thrombosis mikrovaskular atau diathesis hemoragik. Kedua proses patologis ini menimbulkan gejala klinis yang berbeda dan dapat ditemukan dalam waktu yang bersamaan.
Perdarahan dapat terjadi pada semua tempat. Dapat terlihat sebagai petekie, ekimosis,perdarahan gusi,hemoptisis,dan kesadaran yang menurun sampai koma akibat perdarahan otak. Gejala akibat thrombosis mikrovaskular dapat berupa kesadaran menurun sampai koma,gagal ginjal akut,gagal napas akut dan iskemia fokal,dan gangrene pada kulit.
Mengatasi perdarahan pada KID sering lebih mudah daripada mengobati akibat thrombosis pada mikrovaskular yang menyababkan gangguan aliran darah,iskemia dan berakhir dengan kerusakan organ yang menyebabkan kematian.
F.      Komplikasi
Acute respiratory distress syndrome (ARDS)
~     Penurunan fungsi ginjal
~     Gangguan susunan saraf pusat
~     Gangguan hati
~     Ulserasi mukosa gastrointestinal : perdarahan
~     Peningkatan enzyme jantung : ischemia, aritmia
~     Purpura fulminan
~     Insufisiensi adrenal
~     Lebih dari 50% mengalami kematian

G.    Insiden
Orang-orang yang memiliki resiko paling tinggi untuk menderita DIC:
~     Wanita yang telah menjalani pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim masuk ke dalam aliran darah
~     Penderita infeksi berat, dimana bakteri melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi pembekuan
~     Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung, pankreas maupun prostat.
Orang-orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi untuk menderita DIC:
~     Penderita cedera kepala yang hebat
~     Pria yang telah menjalani pembedahan prostat
~     Terkena gigitan ular berbisa.
H.    Diagnosis Laboratorium
Karena rumitnya patofisiologi KID,hasil laboratorium yang di dapat sangat bervariasi. Rumit dan sukar diinterpretasi jika patofisiologi tidak jelas dimengerti dan pemeriksaan yang dilakukan tidak cukup. Tetapi jika pemeriksaan yang diminta cukup dan interpretasi tepat akan dapat memberikan criteria diagnosis yang objektif. Saat ini banyak metode baru tersedia,untuk uji laboratorium klinis yang memudahkan pemeriksaan pasien dengan KID. Dibawah ini dijelaskan laboratorium yang objektif yang diperlukan untuk diagnosis KID,yang didasarkan atas pengetahuan patofisiologi KID.

I.       Pemeriksaan Hemostasis Pada KID
1.      Masa Protombin
Masa protrombin bias abnormal pada KID, dapat disebabkan beberapa hal. Karena masa protrombin yang memanjang bisa karena hipofibrinogenemia, gangguan FDP pada polimerisasi fibrin monomer dan karena plasmin menginduksi lisis faktor V dan faktor IX. Masa protrombin ditemukan memanjang pada 50-75% pasien KID sedang pada kurang 50% pasien bias dalam batas normal atau memendek. Normal atau memendeknya masa protrombin ini terjadi karena (1) beredarnya faktor koagulasi aktif seperti trombin atau F Xa yang dapat mempercepat pembentukan fibrin, (2) hasil degradasi awal dapat mempercepat pembekuan oleh thrombin atau sistem pembekuan gel yang cepat. Masa protrombin umumnya kurang bermanfaat dalam evaluasi KID.
2.      Partial Thrombin Time (PTT)
PTT diaktifkan seharusnya juga memanjang pada KID fulminan karena berbagai sebab sehingga parameter ini lebih berguna pada masa protrombin. Plasmin menginduksi biodegradasi F V, VIII, IX dan XI, yang seharusnya juga menyebabkan PTT memanjang. Selain itu sama halnya dengan masa protrombin, PTT juga akan memanjang bila kadar fibrinogen kurang dari 100 mg%.
PTT juga memanjang pada KID Karena pada FDP menghambat polimerisasi fibrin monomer. Namun PTT yang memanjang dapat ditemukan pada 50-60% pasien KID, dan oleh sebab itu PTT yang normal tak dapat dipakai menyingkirkan KID. Mekanisme terjdinya PTT normal atau memendek pada 40-50% pasien KID sama seperti pada masa protrombin.
3.      Kadar Faktor Pembekuan
Pemeriksaan kadar faktor pada pembekuan memberikan sedikit informasi yang berarti pada pasien KID. Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya pada kebanyakan pasien KID fulminan faktor pembekuan yang aktif beredar dalam sirkulasi terutama F Xa, IXa dan trombin. Pemeriksaan faktor yang didasarkan atas standar PTT dan masa protrombin dengan teknik menggunakan difisiensi substrat akan memberikan hasil yang tidak dapat diinterpretasi. Sebagai contoh jika F VIII diperiksa dengan pasien KID dengan disertai peningikata F Xa, jelas F VIII yang dicatat akan tinggi karena dalam uji sistem F Xa melintas kebutuhan F VIII sehingga terjadi perubahan fibrinogen menjadi fibrin dengan cepat dengan waktu yang dicatat dalam kurva standar pendek, dan ini akan diinterpretasi sebagai kadar F VIII yang tinggi.
4.      FDP
Kadar FDP akan meningkat pada 85-100% kasus KID. Hasil degradasi ini akibat biodegradasi fibrinogen atau fibrin oleh plasmin, jadi secara tidak langsung menunjukkan bahwa jumlah plasmin melebihi jumlah normal dalam darah. Tes protamin sulfat atau etanol biasanya positif bila dalam sirkulasi darah ada fibrin monomer soluble. Tetapi sama sepert FDP, tes ini bukan sebagai sarana diagostik, karena fibrin monomer soluble juga terlihat pada situasi klinis lain, sama seperti pada situasi klinis lain, seperti pada wanita dengan kontrasepsi oral, pasien dengan emboli paru, pada beberapa pasien infark miokard, pasien dengan penyakit ginjal tertentu, pasien dengan thrombosis vena atau arteri, dan pasien dengan tromboemboli.
5.      D- Dimer : suatu test terbaru untuk KID adalah D-Dimer.D-Dimer merupakan hasil degradasi fibrin ikat silang yaitu fibrinogen yang diubah menjadi fibrin kemudian diaktifkan oleh factor XIII. Dari periksaan atau tes yang paling banyak dilakukan untuk menilai KID. D-Dimer tamapaknya merupakan tes yang paling dapat dipercaya untuk menilai kemungkinan KID, Menunjukkan adanya D-Dimer apnormal pada 93% kasus, kadar AT III apnorml pada 89% kasus, kadar fibri nopeptida apnormal pada 88% kasus, dan titer FDP abnormal pada 75 % kasus. Kadang-kadang titer FDP dan reaksi para koagulasi dapat negative pada KID. Hal ini disebabkan pada KID akut jumlah plasmin yang beredar sngat banyak dan fibrinolisis sekunder mengakibatkan degradasi Fragmen D & E, padahal fragmen inilah yang dideteksi sebagai FDP. Selain itu penglepasan protease granulosid, kolagenase dan elastase yang berlebihan dapat juga mengakibatkan dekradasi pada semua sisa fragmen D & E dan akhirnya memberikan hasil FDP negative. Jadi FDP yang negative belum dapat menyingkirkan diagnosis KID. Dengan tersedianya pemeriksaan D-Dimer, pemeriksaan FDP dan tes protamin sulfat menjadi terbatas perannya dalam mendiagnosis KID.
6.      Plasmin
Pemeriksaan system fibrinolisis yang tersedia sekarang dalam laboratorium klinis yang berguna pada KID yaitu pemeriksaan plasminogen dan plasmin. Fibrinolisi sekunder merupakan respon tubuh untuk mencegah thrombosis, dalam upaya tubuh menghindarkan kerusakan organ yang ireversibel pada pasien dengan KID. Jika terjadi gangguan system fibrinolisi, morbiditas dan mortalitas akan meningkat sebagai akibat terjadinya kerusakan organ. Aktivasi system fibrinolisis dapat dinilai dengan mengukur kadar plasminogen dan plasmin dengan teknik subtract sintesis. Masa lisis euglobulin memberikan sedikit atau kurang bermanfaat untuk menilai system fibrinolisis pada KID.
7.      Trombosit
Trombositopenia khas pada KID.
Jumlah trombosit bervariasi mulai dari yang paling rendah 2000-3000 sampai lebih dari 100000/mm3. Pada kebanyakan pasien KID trombosit yang diperiksa dalam sediaan apus dari tepi pada umumnya jumlahnya rata-rata 60.000/mm3.
Uji fungsi trombosit seperti masa perdarahan, agregasi trombosit biasanya terganggu pada KID. Gangguan ini disebabkan FDP menyelubungi membran trombosit. Jadi tidak ada alasan dan tidak perlu melakukan uji fungsi trombosit pada KID. Factor 4 trombosit (PF4) dan
β - tromboglobulin merupakn petanda terjadinya reaktivasi dan penglepasan trombosit, dan biasanya meningkat pada KID. Bila pada KID kadar PF4 dan β-tromboglobulin meningkat dan kemudian menurun sesudah pengobatan, hal ini menunjukkan pengobatan berhasil. Meningkatnya PF4 dan β- tromboglobulin pada KID selain merupakan bukti tidak langsung adanya aktivitas prokoagulan, juga bermanfaat dalam pemantauan pengobatan.  
8.      Diagnosis laboratorium KID dapat dibagi dalam 4 kelompok : (1) aktifasi system prokoagulan, (2) aktivasi system fibrinolisis, (3) konsumsi penghambat, (4) kerusakan atau kegagalan organ.
a.       Aktivasi system prokoagulan meliputi, protrombin, fragmen 1+ 2, fibrinopeptida A, Fibrinopeptida B, kompleks thrombin – anti thrombin (TAT), dan D-Dimer. semuanya ini meningkatkan pada KID.
b.      Aktivasi system fibrinolisis meliputi D-Dimer, FDP, Plasmin dan plasmin antiplasmin kompleks (PAP), semuanya meningkat pada KID.
c.       Konsumsi penghambat ada yang menimgkat dan ada yang menurun. Yang meningkat : kompleks TAT, kompleks PAP. Yang menurun L anti thrombin α2 antiplasmin, heparin, kofaktor II, protein C & S.
d.      Kerusakan ataau kegagalan organ. Yang meningkat adalah laktat dehidrogenase, kreatinin, dan menurun pH dan PaO2.
Untuk menentukan diagnosis KID berdasarkan criteria laboratorium tersebut diperlukan satu kelainan dari kelompok 1,2 dan 3, sedang kelompok 4 diperlukan 2 kalainan. Dari data tersebut diatas terlihat bahwa D-Dimer merupakan pemeriksaan yang paling penting dalam menentukan diagnosis KID.
System skor KID didasarkan atas nilai uji laboratorium ke 4 kelompok tersebut diatas, ditambk keadaan klinis dan hemodinamik pasien. Nilai skor KID didapat dari hasil 100 di kurangi jumlah nilai seluruh kolom. Berdasarkan nilai skor maka sejak permulaan dapat ditentukan derajat beratnya KID.
Kriteria derajat berat KID :
a.       Skor > 90, KID tidak mungkin
b.      Skor 75-89 KID ringan
c.       Skor 50- 79 KID sedang
d.      Skor < 49 KID berat
Pemakaian system skor ini bermanfaat dalam perawatan pasien rutin untuk menilai manfaat pengobatan pada KID walaupun pencetusnya (penyakit dasarnya ) berbeda. Manfaat skor dalam menilai dan menentukan pengobatan:
a.       Ada respon pengobatan.skor bertambah 10 atau lebih dalam 48 jam. KID ada perbaikan. N Pengobatan dengan anti koagulan diteruskan (Heparin atau AT III).
b.      KID menetap. Kenaikan skor ≤ 9 selama 48 jam KID menetap. antikoagulan (Heparin, AT III) diteruskan.evaluasi 48 jam lagi.
c.       Terapi gagal. Skor berkurang selama 72 jam. Antikoagulan dihentikan, demikian juga pengobatan subtitusi.

J.       Penatalaksanaan
Mengenai pengobatan KID fulminan masih belum ada keseragaman dan kadang kontrofersial.hal ini disebabkan,sangat sukar untuk melakukan percobaan pengobatan klinis maupun penilaian hasil percobaan krna etiologi beragam dan beratnya KID juga bervariasi.dalam pengobatan pasien ada 2 prinsip yang perlu diperhatikan,(1) khusus:pengobatan KID bersifat individual atau kasus demi kasus,(2) umum:mengobati pembekuan darah dalam,dan mengatasi perdarahan.
Walaupun masih controversial tetapi langkah pendekatan penatalaksanaan pada KID yang disepakati sekarang ini sebagai berikut:
1.      Khusus pengobatan individu:mengatasi keadaan yang khusus dan yang mengamcam nyawa.
2.      Bersifat umum:
a.       Mengobati atau menghilangkan proses pencetus
b.      Menghentikan proses patalogis pembekuan intravascular.
c.       Terapi komponen atau substitusi
d.      Menghentikan sisa fibrinolisis.
Terapi Individu
Berhubung banyak macam penyakit yang mencetuskan KID dan derajat penyakit maupun KID bervariasi,pengobatan kasus demi kasus perlu mendapat perhatian yang besar.Mungkin hanya dengan pendekatan pengobatan etiologi saja untuk satu pasien sudah cukup sedangpasien yang lain tidak.Atau pemberian heparin pada kasus yang stu sangat diperlukan, sebaiknya pada kasus yang lain sama sekali tidak. Jadi harus selalu dilihat pada setiap individu keuntungan dan keruggian suatu pengobatan.
Pengobatan harus didasarkan atas eteologi KID,umur,keadaan hemodinamik,tempat dan beratnya pendarahan,tempat beratnya thrombus,dan gejala klinis yang ada hubungannya.
a.       Pengobatan factor pencetus
Pengobatan yang sangat penting pada KID fulminan yaitu mengobati secara progresif dan menghilangkan penyakit pencetus KID. Dengan mengobati factor pencetus, proses KID dapat dikurangi atau berhenti. Mengatasi renjatan, mengeluarkan janin mati, memberantai infeksi (sepsis), dan mengembalikan volume dapat menghentikan proses KID
b.      Menghentikan koagulasi
Menghentikan atau menghambat proses koagulasi dapat dapat dilakukan dengan memberikan antikoagulan misalkan heparin.
Indikasi pemberian heparin:
~     Bila penyakit dasar tidak dapat dihilangkan dalam waktu yang singkat
~     Pasien yang masih disertai perdarahan walaupun penyakit dasar sudah dihilangkan. Hal ini karena KID sendiri menggangu proses koagulasi.
~     Bila ada tanda/ditakutkan terjadi thrombosis dalam mikrosirkulasi, gagal ginjal, gagal hati, sindrom gagal nafas.
Cara pemberian heparin klasik pada KID dimulai dengan dosis permulaan 100-200
π/kgBB intravena dan dosisi selanjutnya ditentukan berdasarkan APTT atau masa pembekuan (MP) yang diperiksa 2-3 jam sesudah pemberian heparin. Target APTT 1,5-2,5 kali control atau masa pembekuan (MP) 2-3 kali control. Bila APTT kurang dari 1,5 kali control atau MP kurang dari 2 kali control, dosis heparin dinaikkan. Bila lebih dari 2,5 kali APTT control atau MP lebih dari 3 kali control maka diulang 2 jam. Kemudian bila APTT atau MP tetap lebih dari 2,5-3 kali control maka dosis dinaikkan sedangkan bila kurang, dosis diturunkan. Heparin diberikan tiap 4-6 jam dan dosis diberikan berkisar 20.000-30.000 µ/hari.
c.       Terapi subtitusi
Bila perdarahan masih berlangsung terus sesudah mengobati penyakit dasar dan sesudah pemberian antikoagulan kemungkinan penyebabnya adalah penurunan komponen darah yaitu kekurangan factor pembekuan. Untuk ini dapat diberikan plasma beku segar (Fresh frozen plasma) atau kriopresipitat. Bila trombosit turun sampai 25.000 atau kurang pemberian trombosit konsentrat perlu diberikan.
d.      Antifibrinolisis
Antifibrinolisis seperti asam traneksamik atau epsilon amino caproic acid (EACA) hanya diberikan bila jelas thrombosis tidak ada dan fibriolisis yang sangat nyata. Antifibrinolisis tidak diberikan bila KID masih berlangsung dan bahkan merupakan kontraindikasi

II.    Konsep Keperawatan
A.    Pengkajian
1.      Kaji adanya faktor predisposisi
a)      Septikemia
b)      Komplikasi obstetrik
c)      Sindrom distres pernapasan dewasa (ARDS)
d)     Luka bakar berat dan luas
e)      Neoplasia
f)       Gigitan ular
g)      Penyakit hepar
h)      Bedah kardiopulmonal
i)        Trauma
2.      Pemeriksaan fisik
a)      Perdarahan
b)      Hematuria
c)      Rembesan darah dari pungsi vena dan luka
d)     Epistaksis
e)      Perdarahan GI track
f)       Kerusakan perfusi jaringan serebral : perubahan pada sensorium, gelisah, kacau mental, atau sakit kepala.
g)      Ginjal : penurunan pengeluaran urine
h)      Paru-paru : dispnea, ortopnea
i)        Kulit : akrosianosis (ketidakteraturan bentuk bercak sianosis pada lengan perifer atau kaki.
B.     Diagnosa Keperawatan
1.Gangguan perfusi jaringan yang b/d perdarahan
Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan perfusi jaringan dapat adekuat.
Intervensi dan rasional
Intervensi Rasional
a)      Pantau Hasil pemeriksaan koagulasi, tanda-tanda vital dan perdarahan baru.
R/     Untuk mengidentifikasi indikasi kemajuan atau penyimpangan dari hasil yang diharapkan
b)         Waspadai perdarahan
R/     untuk meminimalkan potensial perdarahan lanjut
c)         Jelaskan tentang semua tindakan yang diprogramkan dan pemeriksaan yang akan dilakukan
R/     pengetahuan tentang apa yang diharapkan membantu mengurangi ansietas
d)        Lakukan pendekatan secara tenang dan beri dorongan untuk bertanya serta berikan informasi yang dibutuhkan dengan bahasa yang jelas
R/     Pemecahan masalah sulit untuk orang yang cemas, karena ansietas merusak belajar dan persepsi. Penjelasan yang jelas dan sederhana paling baik untuk dipahami. Istilah medis dan keperawatan dapat membingungkan klien dan meningkatkan ansietas
e)         Kolaborasi pemberian
-          Terapi heparin : perhatikan pembentukan tanda-tanda antibodi antitrombosit oleh penurunan tiba-tiba dari jumlah trombosit
R/     Bila penyakit primer diatasi, tujuan tindakan tambahan adalah untuk mengontrol perdarahan dan memperbaiki kadar faktor pembekuan yang normal
-          Berikan transfusi darah sesuai dengan prosedur dan evaluasi dengan ketat terhadap menifestasi reaksi transfusi. Hentikan transfusi bila terjadi reaksi.
R/     .Transfusi darah mungkin diperlukan untuk menggantikan faktor- faktor pembekuan dan memperbaiki anemia yang dapat terjadi pada kehilangan darah berlebihan.

2.      Peningkatan suhu tubuh b/d proses inflamasi
Tujuan : Hipertermi dapat diatasi dengan criteria hasil:
a)      Pasien mengeluh tubuhnya tidak panas lagi
b)      Suhu tubuh normal
c)      Akral tidak teraba panas
d)     Tidak teraba distensi abdomen
Intervensi Rasional
Mandiri
1)      Pantau suhu tubuh pasien pada periode akut tiap 1 jam.
R/     Mendeteksi tingkat penyebaran peradangan
2)      Beri Kompres hangat
R/     Dapat membantu mengurangi demam
Kolaborasi:
1)      Berikan obat penurun panas non alcohol dan non kafein sesuai resep
R/     Menurunkan panas melalui responpersarafan pusat (hipotalamus)

3.      Resiko intoleransi Aktivitas b/d penurunan suplai O2
Intervensi dan rasional
Intervesi Rasional
1)      Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas
R/     Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan
2)      Awasi TD, nadi, pernafasan, selama dan sesudah aktivitas.
R/     Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru utnuk membawa jumlah O2 adekuat ke jaringan
3)      Berikan lingkungan tenang. Pertahankan tirah baring bila diindikasikan.
R/     Meningkatkan istirahat untuk menurunkan kebutuhan oksigen tubuh
4)      Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien.
R/     Meningkatkan secara bertahap aktivitas sampai normal.






4.      Nyeri
Tujuan : Nyeri hilang atau terkontrol.
Kriteria hasil :
1)      Mengungkapkan nyeri hilang
2)      Menyatakan metode yang memberikan pengurangan
Intervensi
Intervensi Rasional
1)      Kaji tingkat nyeri pasien.
R/     Tingkat nyeri dapat mempengaruhi tingkah laku pasien dan proses pengobatan
2)      Mempertahankan tirah baring selama fase akut
R/     Meningkatkan relaksasi terhadap seluruh organ yang bersangkutan
3)      Kurangi aktifitas yang berlebihan
R/     Aktifitas yang berlebihan dapat meningkatkan tekanan vaskuler
4)      Bantu pasien dalam aktifitas sesuai kebutuhan
R/     Mencegah komplikasi dalam hubungannya dengan sakit kepala

DAFTAR PUSTAKA

Gofir Abdul. 2003. Diagnosa dan Terapi kedokteran. Salemba Medika: Jakarta
Suyono Selamet.
2001. Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi ketiga.Balai Penerbit FKUI: Jakarta

Dianec Buughman. 1997. Keperawatan Medikal Bedah. EGC: Jakarta
Baker WF. 1989. Clinical of disseminated intravascular coagulation syndrome. Balai Penerbit FKUI: Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar