Rabu, 19 Oktober 2016

Asuhan Keperawatan Dengan Tuberculosis Tulang



AB I
PENDAHULUAN


A.          Latar Belakang
Tuberkulosis tulang belakang merupakan : Infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis disebabkan oleh kuman spesifik, yaitu mycobacterium tuberculosa yang mengenai tulang vertebra.
Tuberkulosis tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberculosis di tempat lain di tubuh. 90 – 95% disebabkan oleh mikobacterium tuberkulosa tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovin) dan 5 – 10 % oleh mikobakterium tuberkulosis atipik.
Diperkirakan sekitar sepertiga penduduk dunia telah terinfeksi oleh mycobacterium tuberkulosa. Pada tahun 1995 diperkirakan ada 9 juta pasien TB baru dan 3 juta kematian akibat TB di seluruh dunia. Diperkirakan 95% kasus TB dan 98% kematian akibat TB di dunia, terjadi pada negara – negara berkembang. Demikian juga, kematian wanita akibat TB lebih banyak dari pada kematian akibat kehamilan, persalinan dan nifas. Sekitar 75% pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomis (15 – 50 tahun). Indonesia adalah kontributor penderita TV no. 3 di dunia setelah India dan Cina. Diperkirakan terdapat 583.000 kasus baru TB per tahun. Sebagian besar penderita berada alam usia produktif (15 – 54 tahun) dengan tingkat sosioekonomi dan pendidikan yang rendah. Keterlibatan tulang belakang akan memperberat morbiditas karena adanya potensi defisit neurologis dan deformitas yang permanen. Ironisnya tulang belakang adalah kolasi infeksi TB tulang dan tersering, mencakup 50%, seluruh penderita TB osteoartikular. Pertuiset, dkk mencatat pada sebuah penelitian, di Prancis tahun 1980 – 1994, spondilitis tuberkulosis merupakan 15% semua kasus TB ekstrapulmoner dan merupakan 3-5 % semua kasus TB.  Hidlago melaporkan di AS tahun 1986 – 1990 TB osteoartikular merupakan 10 % dari kasus TB ekstrapulmoner dan 1,8% dari semua kasus TB. Hidlago dan Pertuiset, dkk melaporkan adanya predominasi pria terhadap wanita. Didapatkan insiden lebih besar pada anak – anak terutama pada negara dengan prevalensi TB yang tinggi.                Anak – anak dibawah usia10 tahun cenderung mengalami destruksi vertebra lebih ekstensif dan memiliki resiko terjadinya deformitas tulang belakang yang lebih besar.
Penatalaksanaan pada tuberkolusis tulang belakang harus dilakukan sesegara mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia, dengan cara :
-          Pemberian obat antituberkulosis
-          Dekompresi medulla spinalis
-          Menghilangkan produk infeksi
-          Stabilisasi vertebra dengan graft tulang

B.           Tujuan Penulisan
Tujuan Umum     :
Mahasiswa mampu memahami Konsep Dasar Teori pada Tuberculosis tulang           
Tujuan Khusus    :        
1.    Mahasiswa mampu melakukan pengkajian pada klien dengan tuberculosis tulang
2.    Mahasiswa mampu menegakkan diagnosa keperawatan pada klien dengan tuberculosis tulang
3.    Mahasiswa mampu menentukan intervensi keperawatan pada klien dengan tuberculosis tulang
4.    Mahasiswa mampu melakukan implementasi keperawatan pada klien dengan tuberculosis tulang
5.    Mahasiswa mampu melakukan evaluasi keperawatan pada klien dengan tuberculosis tulang













BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A.          KONSEP DASAR  TEORI
1.      DEFENISI
*     Tuberculosis Tulang adalah   :  Peradangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberculosis dan merupakan infeksi sekunder dari fokus jauh di tempat lain dalam tubuh. (Arif Muttaqin, 2008)
*     Tuberkulosis Tulang adalah   :  Infeksi yang sifatnya kronis berupa infeksi granulomatosis di srebabkan oleh kuman spesifik yaitu Mycobacterium tuberculosis yang mengenai tulang vertebra. (Abdurrahman, 1994)
    
2.      ETIOLOGI
Penyebab Tuberculosis tulang belakang adalah infeksi sekunder dari tuberculosis di tempat lain dalam tubuh ; 90-95% di sebabkan oleh mycobacterium tuberculosis tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovine) dan 5-10% oleh mycobacterium tuberculosis atipik. (Arif Muttaqin, 2008).

3.      PATOFISIOLOGI
Penyakit ini pd umumnya mengenai lebih dari satu vertebra.Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemia dan eksudasi yg menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus invertebralis dan vertebra sekitarnya.Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis. Kemudian eksudat yang terdiri atas serum, leukosit, tulang yang fibrosis serta basil tuberculosa menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior.Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah vertebra servikalis, eksudat terkumpul di belakang paravertebral dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus.
Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan ke dalam faring yang di kenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan mengisis tempat trakea, esofagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra thorakalis biasanya tetap tinggal pada daerah thoraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinale pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoral pada trigonum skarpei atau regio gluteal.
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :
1)        Stadium Implantasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, bila daya tahan tubuh klien menurun bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya terjadi pada daerah sentral vertebra.
2)        Stadium Destruksi awal
Setelah stadium implantasi terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.
3)        Stadium Destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus invertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.
4)        Stadium Gangguan neurologis
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini di temukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberculosa. Vertebra thorakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.


5)        Stadium Deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan.(Arif Muttaqin, 2008)

4.      GEJALA KLINIS
-          Tanda awal berupa bengkak
-          Nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi
-          Kulit di atas daerah yang terkena teraba panas
-          Badan lemah, lesu
-          Napsu makan berkurang
-          Berat badan menurun
-          Pucat, di sebabkan karena salah satu fungsi dari tulang adalah sebagai produksi sel darah merah di mana apabila adanya invasi kuman mycobacterium tuberculosis menyebabkan akan menghambat produksi sel darah merah sehingga gejala yang muncul adalah pucat.
-          Suhu tubuh meningkat/ febris
-          Gangguan pergerakan tulang belakang akibat spasme/gibus

5.      PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a)    Laboratorium
ü Peningkatan LED dan mungkin di sertai dengan leukositosis
ü Uji mantoux positif
ü Pada pemeriksaan biakan kuman mungkin di temukan mycrobacterium
ü Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional
ü Pemeriksaan histopatologis dapt di temukan tuberkel
b)   Radiologis
ü    Pemeriksaan foto thoraks untuk melihat adanya tuberkulosis paru
ü Foto polos vertebra, di temukan osteoporosis, osteolitik dan destruksi korpus vertebra di sertai penyempitan diskus invertebralis yang berada di korpus tsb dan mungkin dapat di temukan adanya massa abses paravertebral.
ü Pada foto AP, abses paravertebral di daerah servikal berbentuk sarang burung, di daerah thorakal berbentuk bulbus dan pada daerah lumbal abses berbentuk fusiform
ü Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis
ü Pemeriksaan foto dengan zat kontras
ü Pemeriksaan mielografi di lakukan bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang
ü Pemeriksaan CT scan dan MRI membantu menunjukkan perluasan infeksi pada jaringan paraspinal.

6.      PENATALAKSANAAN
Pada prinsipnya pengobatan tuberculosis tulang belakang harus di lakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia. Pengobatannya terdiri atas :
a.    Terapi konservatif berupa :
ü    Tirah baring
ü    Memperbaiki keadaan umum penderita
ü Pemasangan brace pada penderita yang di operasi maupun yang tidak di operasi
ü Pemberian obat anti tuberkulosa, terdiri dari :
*     INH dengan dosis oral 5 mg/kg BB per hari dengan dosis maksimal 300 mg. Dosis oral pada anak-anak 10 mg/kg BB.
*     Asam para-amino salisilat, dosis oral 8-12 mg/kg BB.
*     Etambutol, dosis oral 15-25 mg/kg BB per hari
*     Rifampisin, dosis oral 10 mg/kg BB untuk anak-anak dan pada orang dewasa 300-400 mg per hari
*     Streptomisin, pada saat ini tidak di gunakan lagi.
b.    Terapi operatif
Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal yaitu bila terdapat cold abses, lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.
Indikasi Operasi :
Ø Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat.
Ø Adanya abses yang besar sehingga di perlukan drainase secara terbuka dan sekaligus debridement serta bone graft
Ø Pada pemeriksaan Radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI di temukan adanya penekanan langsung pada medula spinalis

7.      KOMPLIKASI
*        Paraplegia
*        Cold abses
*        Lesi tuberculosa
*        Kifosis























Patofisiologi b/d Penyimpangan KDM

Etiologi








 
Perubahan pada vertebra         Mycobakterium tuberculosa
servikalis

Kerusakan korpus vertebra      Infeksi secara haemotogen TB paru
Dan terjadi angulasi vertebra   Pada bagian sentral/depan
Ke depan                                 atau daerah epifisial korpus vertebra
 

Perubahan diskus                     Hiperemi dan eksudasi
Intervertebralis servikal                      

Mobilitas leher terganggu         Osteoporosis  & perlunakan






 
Leher menjadi kaku dan                      Perusakan tulang & penjalaran
Pembentukan abses pada         infeksi ke ruang diskus &
Faring                                      vertebra yang berdekatan







 
Gangguan dalam proses           Perkijuan jaringan tulang & pembentukan       Perubahan pada
menelan                                   abses dingin menjalar ke bagian                                  vertebra lumbalis                                             lunak paravertebra
Asupan nutrisi tidak adekuat                                                                           Penekanan korda
TUBERKULOSIS TULANG
 
                                                                                                                        & radiks saraf 
Nutrisi kurang dari
Kebutuhan tubuh
 
                                                                                                                        oleh pembesaran                                                                                                                      abses/tulang yang
                                                                                                                        bergeser
Proses inflamasi :                     Perubahan pada vertebra
Hiperemi, pembengkakan        thorakalis                                                         Paraplegia,
                                                                                                                        stimulus nyeri
Merangsang hipotalamus         Kerusakan korpus vertebra                              pada pinggang
                                                Dan terjadi angulasi vertebra
Pelepasan pirogen/endogen      ke depan                                                          kelemahan fisik

Intoleransi aktivitas
 
Demam                                                Perubahan vertebra menjadi
                                                kifosis


Hipertermi
 
 
                                                Penurunan kemampuan maksimal
                                                Dalam melakukan respirasi, batuk                   Penekanan Lokasl
                                                Efektif                                                             paraplegia
                                   
Kompresi radiks syaraf           Akumulasi sekret meningkat
Resiko kerusakan
Integritas kulit
 
 pada vertebra thorakalis







Bersihkan jalan nafas inefektif
 

 
Stimulus nyeri

Nyeri dipersepsikan








Nyeri
 
 





B.           KONSEP DASAR  ASKEP
1.      PENGKAJIAN
1)      Anamnesis
a)      Identitas klien, meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, asuransi kesehatan dan diagnosis medis.
b)      Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta pertolongan kesehatan adalah paraparesis, gejala paraplegia, keluhan gangguan pergerakan tulang belakang dan adanya nyeri tulang belakang. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang nyeri klien dapat menggunakan metode PQRST.
Ø  Proviking incident
Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri adalah adanya peradangan pada tulang belakang
Ø  Quality of pain
Nyeri yang di rasakan klien bersifat menusuk dan nyeri sering di sertai dengan parestesia
Ø  Region
Kaji apakah nyeri dapat reda, apakah nyeri menjalar atau menyebar karena pada beberapa kasus nyeri sering menjalar dari tulang belakang ke pinggul dan menjalar ke tungkai. Selain itu kaji di mana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokalisasi dan sebatas apa
Ø  Severity (scale) of pain
Nyeri biasanya 1-3 pada penilaian skala nyeri 0-4
Ø  Time
Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi nyeri berlangsung terus menerus atau hilang timbul.
c)      Riwayat penyakit sekarang
Keluhan yang di dapat : tanda awal berupa bengkak, napsu makan berkurang, berat badan menurun, nyeri dan keterbatasan lingkup gerak sendi, kulit di atas daerah yang terkena teraba panas, badan lemah lesu, pucat, suhu tubuh meningkat, gangguan pergerakan akibat spasme atau gibus

d)     Riwayat penyakit dahulu
Ada keluhan riwayat TB paru dan penggunaan obat antituberkulosis (OAT). Penyakit lain seperti hipertensi, DM perlu juga di kaji untuk mengidentifikasi penyulit pada penatalaksanaan dan implementasi keperawatan
e)      Pengkajian psikososiospiritual
Mengkaji mekanisme koping yang di gunakan klien untuk menilai respon emosi terhadap penyakit yang di deritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga/masyarakat. Selain itu kaji apakah memeberi dampak pada status ekonomi klien.
2)      Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada kebutuhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya di lakukan per sistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B6 yang terarah dan di hubungkan dengan kebutuhan klien.
v  Keadaan umum
Pada keadaan tuberculosis tulang, klien umumnya tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan TTV yang meliputi bradikardi dan hipotensi sering berhubungan dengan penurunan aktivitas secara umum akibat adanya hambatan dalam melakukan mobilitas ekstremitas.
v  B1 (Breathing)
Pada fase awal biasanya tidak di dapatkan kelainan pada sistem pernapasan. Sedangkan hasil pemeriksaan fisisk dengan fase penurunan aktivitas yang parah pada inspeksi di apatkan bahwa klien batuk, peningkatan produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, peningkatan frekuensi pernapasan. Pada palpasi ditemukan taktil fremitus seimbang kanan dan kiri, pada perkusi di temukan adanya resonan pada seluruh lapang paru. Pada auskultasi didapatkan suara napas tambahan seperti ronki pada klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun pada klien dengan penurunan tingkat kesadaran/koma.


v  B2 (Blood)
Pada keadaan Tb tulang dengan komplikasi paraplegia yang lama biasanya akan di dapatkan adanya Hipotensi ortostatik (penurunan TD sistolik ≤ 25 mm Hg dan diastolik ≤ 10 mm Hg ketika klien bangun dari posisi berbaring ke posisi duduk). Pada tb tulang tanpa paraplegia tidak di dapatkan kelainan pada sistem cardiovaskular.
v  B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya komposmentis
v  B4 (Bladder)
Pada Tb tulang daerah thorakal dan servikal tidak ada kelainan tetapi pada daerah lumbal sering di dapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.
v  B5 (Bowel)
Pada klien Tb tulang sering ditemukan penurunan nafsu makan dan gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari abses faring sehingga pemenuhan kebutuhan nutrisi menjadi berkurang.
v  B6 (Bone)
ü Look
Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas (kifosis) terutama pada tb tulang daerah torakal, pada daerah lumbalis adanya abses pada daerah bokong dan pinggang, daerah servikal terdapat kekakuan leher.
ü Feel
Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis.
ü Move
Terjadi kelemahan anggota gerak dan gangguan pergerakan tulang belakang. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan usaha tersebut menimbulkan spasme otot.

2.   DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.      Intoleransi aktivitas b/d paraplegia, paralisis ektremitas bawah, kelemahan fisik
2.      Bersihan jalan napas in efektif b/d penumpukan sputum, ketidakmampuan batuk efektif
3.      Nyeri b/d kompresi syaraf dan refleks spasme otot sekunder pada tulang belakang
4.      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan kemampuan dalam menelan makanan
5.      Hipertermi b/d inflamasi pada tulang dan sendi
6.      Resiko kerusakan integritas kulit b/d penekanan lokal paraplegia

3.   INTERVENSI

Dx. I. Intoleransi aktivitas b/d paraplegia, paralisis ekstremitas bawah, kelemahan
          Fisik
Tujuan            : Klien dapat menunjukkan cara melakukan mobilisasi secara optimal sesuai dengan kondisi daerah spondilitis
Ktiteria hasil  :    Klien mampu melakukan aktivitas perawatan diri sesuai dengan tingkat kemampuan, mengidentifikasi individu yang dapat membantu, klien terhindar dari cidera.
Intervensi       :   
1.      Kaji kemampuan dan tingkat penurunan dalam melakukan mobilisasi
R/  :    Membantu dalam mengantisispasi dan merencanakan pertemuan untuk kebutuhan individual
2.      Hindari apa yang tidak dapat di lakukan oleh klien dan bantu bila perlu
R/  :    Klien dalam keadaan cemas dan tergantung sehingga hal ini di lakukan untuk mencegah frustasi dan menjaga harga diri klien.
3.      Atur posisi telentang dan letakkan gulungan handuk/bantal di area bawah bagian punggung yang sakit dengan menjaga kondisi kurvatura tu;lang belakang dalam kondisi optimal
R/  :    Mengurangi kemungkinan stimulus nyeri, kontraktur sendi, dan memungkinkan untuk pergerakan optimal pada ekstremitas atas. 
4.      Sokong kaki bawah yang mengalami paraplegia dengan bantal dalam posisi jari-jari kaki menghadap langit
R/  :    Adanya bantal akan mencegah terjadinya rotasi luar kaki dan mengurangi tekanan pada jari-jari kaki


5.      Lakukan latihan ROM
R/  :    Latihan yang efektif dan berkesinambungan akan mencegah terjadinya kontraktur sendi dan atrofi otot yang sering terjadi pada pasien spondilitis tuberkulosa
6.      Ajak klien untuk berpikir positif terhadap kelemahan yang dimilikinya
R/  :    Klien memerlukan empati tetapi perawat perlu mengetahui perawatan yang konsisten dalam menangani klien.
7.      Kolaborasi pemberian OAT
R/  :    Pemberian regimen OAT sesuai panduan akan mengatasi masalah utama pada klien spondilitis tuberculosa

Dx. II. Bersihan jalan napas inefektif b/d penumpukan sputum dan
            Ketidakmampuan batuk efektif.
Tujuan            : Terjadi peningkatan keefektifan pembersihan jalan napas dan aspirasi dapat di cegah
Kriteria hasil  :   Frekuensi pernapasan dalam batas normal, suara napas terdengar bersih, klien menunjukkan batuk yang efektif, tidak ada lagi penumpukan sekret di jalan napas.    
Intervensi       :
1.      Kaji keadaan jalan napas
R/  :    Obstruksi mungkin dapat di sebabkan oleh akumulasi sekret, sisa cairan mukus
2.      Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi suara napas pada kedua paru
R/  :    Pergerakan dada yang simetris dengan suara napas yang keluar dari paru-paru menandakan jalan napas tidak terganggu.
3.      Anjurkan klien untuk melakukan teknik batuk efektif
R/  :    Batuk yang efektif dapat mengeluarkan sekret dari saluran napas
4.      Berikan minuman hangat jika keadaan memungkinkan
R/  :    Membantu pengenceran sekret dan mempermudah pengeluaran sekret
5.      Atur / ubah posisi secara teratur tiap 2 jam
R/  :    Mengatur pengeluaran sekret dan ventilasi segmen paru-paru, mengurangi resiko atelektasis.


6.      Ajarkan klien tentang metode yang tepat untuk pengontrolan batuk
R/  :    Batuk yang tidak terkontrol adalah melelahkan dan tidak efektif menyebabkan frustasi.
7.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapi mukolitik dan ekspectoran
R/  :    Mukolitik merupakan agens untuk mobilisasi sekret, ekspektoran untuk memudahkan pengeluaran atau mobilisasi lendir dan mengevaluasi perbaikan kondisi klien atas pengembangan parunya.

Dx. III. Nyeri b/d kompresi syaraf dan refleks spasme otot sekunder pada tulang belakang.
Tujuan            :    Nyeri dapat berkurang atau teratasi
Kriteria hasil  :    Secara subjektif klien melaporkan nyeri berkurang atau dapat teratasi, dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan nyeri/ mengurangi nyeri, klien tidak gelisah.
Intervensi       :
1)      Kaji skala nyeri
R/  :    Nyeri merupakan respon subjektif yang dapat di kaji dengan menggunakan skala nyeri.
2)      Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus
R/  :    Nyeri di pengaruhi oleh kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kansung kemih dan berbaring lama.
3)      Jelaskan dan bantu klien terkait dengan tindakan pereda nyeri non farmakologi dan noninvasif
R/  :    Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologi lainnya menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri
4)      Ajarkan teknik relaksasi
R/  :    Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi dan mengurangi nyeri. 
5)      Lakukan masase ringan di sekitar nyeri
R/  :    Akan melancarkan peredaran darah sehingga kebutuhan 02 pada jaringan terpenuhi dan merupakan salah saru teknik distraksi yang efektif pada saat nyeri ada.

6)      Ciptakan suasana lingkungan yang tenang
R/  :    Untuk mengurangi stimulus nyeri eksternal
7)      Hadirkan keluarga atau orang terdekat pada saat episode nyeri
R/  :    Apabila tidak ada keluarga/ teman sering kali pengalaman nyeri membuat klien semakin tertekan.
8)      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapi analgetik
R/  :    Analgesik memblok lintasan nyeri dehingga nyeri akan berkurang

Dx. IV. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d gangguan kemampuan dalam menelan makanan
Tujuan            :    Keseimbangan nutrisi dapat terpenuhi
Ktiteria hasil  :    Klien mendemonstrasikan asupan makanan yang adekuat, tidak ada penurunan BB lebih lanjut.
Intervensi       :
1.      Pantau persentase jumlah makanan yang di konsumsi setiap kali makan, timbang BB tiap hari.
R/  :    Mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari sasaran yang di harapkan
2.      Berikan perawatan mulut tiap 6 jam, pertahankan kesegaran ruangan
R/  :    Bau yang tidak menyenangkan dapat mempengaruhi napsu makan.
3.      Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan lunak tinggi kalori tinggi protein
R/  :    Membantu untuk memenuhi kebutuhan nutrisi
4.      Berikan makanan lunak dengan porsi sedikit tetapi sering yang mudah di kunyah
R/  :    Makanan lunak dengan porsi sedikit tetapi sering akan mengurangi sensasi nyeri pada proses menelan akibat abses faring yang terjadi pada spondilitis  tuberculosa pada daerah servikal.
5.      Kolaborasi dengan ahli gizi untuk membantu memilih makanan yang dapat memenuhi kebutuhan nutrisiselam sakit
R/  :    Ahli gizi adalah spesialisasi dalam hal nutrisi yang dapat membantu klien memilih makanan sehingga dapat memenuhi kebutuhan kalori dan kebutuhan nutrisi sesuai dengan keadaan sakitnya, usia, tinggi dan BB.

Dx. V. Hipertermi b/d inflamasi pada tulang dan sendi
Tujuan            :    Suhu tubuh dal;am batas normal, bebas dari kedinginan
Kriteria hasil  :    Tidak mengalami komplikasi yang berhubungan dengan spondilitis tuberculosa.                
Intervensi       :
1.      Observasi tanda-tanda vital khususnya suhu pasien, perhatikan adanya menggigil/ diaforesis
R/  :    Suhu 38,9 – 41,1 menunjukkan proses penyakit infeksius akut, pola demam dapat membantu dalam menentukan diagnosis.
2.      Pantau suhu lingkungan, batasi/ tambahkan linen tempat tidur sesuai indikasi
R/  :    Suhu ruangan atau jumlah selimut harus di ubah untuk mempertahankan suhu mendekati normal
3.      Berikan komres hangat, hindari penggunaan alkohol
R/       Dapat membantu mengurangi demam. Penggunaan air es atau alkohol mungkin menyebabkan kedinginan dan dapat mengeringkan kulit.
4.      Kolaborasi dengan tim medis dlam pemberian therapi Antipiretik
R/  :    Untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada hipotalamus

Dx. VII.  Resiko kerusakan integritas kulit b/d penekanan lokal paraplegia
Tujuan            :    Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil  :    Klien mau berpartisipasi dalam pencegahan terjadinya dekubitus, mengetahui penyebab dan cara pencegahan dekubitus, tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka, kulit kering                              
Intervensi       :
1.      Anjurkan klien untuk melakukan latihan ROM dan mobilisasi jika mungkin
R/  :    Meningkatkan aliran darah ke semua daerah
2.      Ubah posisi tiap 2 jam
R/  :    Menghindari tekanan dan meningkatkan aliran darah
3.      Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol
R/  :    Menghindari tekanan yang berlebih pada daerah yang menonjol
4.      Lakukan masase pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi
R/  :    Menghindari kerusakan kapiler
5.      Bersihkan dan keringkan kulit, jaga sprei tetap kering
R/  :    Meningkatkan integritas kulit dan mengurangi resiko kelembapan kulit.
6.      Observasi adanya eritema dan kepucatan, palapasi area sekitar untuk mengetahui adanya kehangatan dan pelunakan jaringan tiap mengubah posisi.
R/  :    Hangat dan pelunakan adalah tanda kerusakan jaringan.
7.      Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma dan panas pada kulit 
R/  :    Mempertahankan keutuhan kulit.

4.   IMPLEMENTASI
      Sesuai dengan intervensi.

5.   EVALUASI
      Sesuai dengan tujuan.

















           


BAB III
PENUTUP

A.          Kesimpulan
Tuberculosis tulang belakang atau di kenal juga dengan Spondilitis tuberculosis merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh mycobacterium tuberculosis. Tuberculosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh.Spondilitis tuberculosa terutama di temukan pada kelompok usia 2-10 tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara pria dan wanita. Lokasi spondilitis tuberculosa terutama pada daerah vertebra thorakalis bawah dan vertebra lumbalis atas.
Penatalaksanaan tuberculosis tulang belakang harus di lakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresifitas penyakit serta mencegah paraplegia di mana terdiri dari therapi konservatif dan therapi operatif.

B.           Saran
1.    Bagi penderita Tuberculosis tulang mengikuti program pengobatan sesuai dengan anjuran petugas kesehatan sehingga dapat menghindari terjadinya komplikasi yang dapat memperburuk keadaan, turut serta dalam aktivitas dan latihan yang meningkatkan atau mempertahankan mobilitas.
2.    Bagi Mahasiswa/i keperawatan agar mampu memahami Konsep dasar teori dan Konsep dasar asuhan keperawatan pada klien dengan Tuberculosis tulang sehingga dalam pelayanan keperawatan di masyarakat sesuai dengan kondisi dan permasalahannya.










DAFTAR PUSTAKA

Arif Muttaqin, 2008. BUKU AJAR ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL, EGC ; Jakarta.

Arif Mansjoer, 2000. KAPITA SELEKTA KEDOKTERAN EDISI 3 JILID 2, Media Aesculapius; Jakarta

Doenges E. Marylin, 2000. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN EDISI 3, EGC : Jakarta.

Price A. Sylvia, 2005. PATOFISIOLOGI KONSEP KLINIS PROSES – PROSES PENYAKIT EDISI 6. VOLUME 2, EGC ; Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar