Rabu, 19 Oktober 2016

Asuhan Keperawatan Dengan Sudden Cardiac Arrest (SCA)



BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        LATAR BELAKANG

Kematian jantung mendadak (SCD) adalah kematian akibat kehilangan fungsi jantung. Korban mungkin atau mungkin tidak memiliki diagnosa penyakit jantung. Waktu dan cara kematian yang tak terduga. Hal ini terjadi dalam beberapa menit setelah gejala muncul. Alasan yang mendasari paling umum untuk pasien mati mendadak dari serangan jantung adalah penyakit jantung koroner (buildups lemak dalam arteri yang memasok darah ke otot jantung). Sehingga pembuluh darah sempit, otot jantung bisa berhenti karena kekurangan suplai darah.
Dari 90 %  korban dewasa sudden cardiac death (SCD), dua atau lebih dari korban disebabkan karena arteri koroner utama menyempit oleh lemak. Sedangkan dua-pertiga dari korban ditemukan bekas luka dari serangan jantung sebelumnya. Ketika kematian mendadak terjadi pada orang dewasa muda, kelainan jantung lainnya merupakan penyebab yang lebih mungkin. Adrenalin dilepaskan selama aktivitas fisik atau olahraga yang sering menjadi pemicu munculnya SCD. Dalam kondisi tertentu, berbagai obat jantung dan obat lainnya, serta penyalahgunaan obat terlarang dapat menyebabkan irama jantung abnormal yang juga dapat menyebabkan kematian SDC.Serangan tiba-tiba jantung (SCA) adalah suatu kondisi dimana jantung tiba-tiba dan tak terduga berhenti berdetak. Ketika ini terjadi, darah berhenti mengalir ke otak dan organ vital lainnya. SCA biasanya menyebabkan kematian jika tidak dirawat dalam beberapa menit.SCA tidak sama dengan serangan jantung . Serangan jantung terjadi ketika darah mengalir ke bagian dari otot jantung tersumbat. Selama serangan jantung, jantung biasanya tidak tiba-tiba berhenti berdetak. SCA, bagaimanapun mungkin dapat terjadi setelah atau selama pemulihan dari serangan jantung.Orang yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk SCA. Namun, kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit jantung atau faktor risiko lain untuk SCA. Seorang yang memiliki riwayat keluarga dengan penyakit jantung atau ada anggota keluarga yang pernah meninggal mendadak perlu mewaspadai terjadinya cardiac arrest. Upaya pencegahan lain adalah dengan menjalankan gaya hidup sehat dan rutin berolahraga.

1.2.       TUJUAN
1.2.1.           Tujuan Umum
Untuk memenuhi nilai tugas keperawatan Gawat Darurat

1.2.2.           Tujuan Khusus
Untuk berbagi pengetahuan dengan sesama, khususnya mahasiswa  keperawatan, dan pembaca pada umumnya




















BAB II
PEMBAHASAN

2.1.       KONSEP DASAR MEDIS
2.1.1. PENGERTIAN

1.             Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Artinya, kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan kegagalan sirkulasi darah.
2.             Jantung tiba-tiba mati ( Sudden Cardiac Arrest) adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian jantung).

2.1.2. ETIOLOGI
1.    Faktor-faktor Risiko
2.    Usia
3.    Jenis kelamin
4.    Merokok
5.    Penyakit jantung yang mendasari
6.     Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
7.    Penyakit arteri koronaria (CAD)
8.    Hipertrofi septum yang asimetrik (ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan insiden aritmia atrium dan ventrikel yang bisa menyebabkan kematian listrik atau hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat VT atau bahkan denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko SCD.
1)            Faktor pencetus
a.              Aktivitas
Hubungan antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien yang meninggal mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau segera setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa mencetuskan SCD, terutama jika aktivitas berlebih dan selama tidur SCD jarang terjadi.
b.             Iskemia
Pasien dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia dalam distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia ventrikel yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona infark. Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak stabilnya listrik dan pasien iskemia pada suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c.              Spasme arteri koronaria
Spasme arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat menyokong henti jantung. Tampak bahwa lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD. Tetapi insiden SDC pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan derajat CAD obsruktif yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien spase arteri koronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap.

2.1.3. PATOFISIOLOGI
                             Patofisiologi cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung, peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit (Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang mendasari terjadinya cardiac arrest.

2.1.4. MANIFESTASI KLINIS
1.           Organ-organ tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak.
2.            Hypoxia cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran (collapse).
3.           Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit, selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4.           Napas dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5.           Tekanan darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa pada arteri.
6.           Tidak ada denyut jantung.
2.1.5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1)            Elektrokardiogram
EKG mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2)             Tes darah
a.         Pemeriksaan Enzim Jantung
Enzim-enzim jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar terjadi serangan jantung.


b.          Elektrolit Jantung
Melalui sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik. Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden cardiac arrest.
c.         Test Obat
Pemeriksaan darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia, termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan terlarang.
d.        Test Hormon
Pengujian untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac arrest.
3)            Imaging tes
a.         Pemeriksaan Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah seseorang terkena gagal jantung.
b.          Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung. Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir melalui jantung dan paru-paru.
c.          Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara untuk menghasilkan gambaran jantung. Echocardiogram dapat membantu mengidentifikasi apakah daerah jantung  telah rusak oleh cardiac arrest dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi), atau apakah ada kelainan katup.
4)             Electrical system (electrophysiological) testing and mapping
 Tes ini membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan penyebab yang mungkin memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.
5)            Ejection fraction testing
 Dokter dapat menentukan kapasitas pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel  setiap detak jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram, Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6)            Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan atau penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis (kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.





2.1.6. PENATALAKSANAAN
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap, yaitu:
1.    Respons Awal
Respons awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar disebabkan oleh henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan secara kuat dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor; rekomendasi ini masih controversial.Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi bahwa kompresi jantung memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi pemompaan dengan pengisian serta pengosongan rongga-rongganya secara berurutan sementara katup-katup jantung yang kompeten mempertahankan aliran darah ke depan. Telapak yang satu diletakkan pada sternum bagian bawah, sementara telapak tangan yang lainnya berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah bawah. Sternum kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada dalam keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan kurang lebih 80 kali per menit. Penekanan dilakukan dengan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan depresi sternum sebesar 3 hingga 5 cm, dan relaksasi dilakukan secara tiba-tiba. Teknik RKP konvensional ini sekarang sedang dibandingkan dengan teknik baru yang didasarkan pada ventilasi dan kompresi simultan. Sementara aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP konvensional, data eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan pada seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan. Namun, tidak jelas apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah koroner dan apakah peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen pada perfusi serebral.   
Langkah-langkah penting dalam resusitasi kardiopulmone
1.        Pastikan bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.
2.        Mulailah resusitasi respirasi dengan segera.
3.        Raba denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau kartilago tiroid.
4.        Jika denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung. Lakukan penekanan sebanyak 60 kali per menit dengan satu kali penghembusan udara untuk mengembangkan paru setelah setiap 5 kali penekanan dada. (Isselbacher: 228)
2.    Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)
Tindakan ini bertujuan untuk menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan aritmia jantung, menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung) dan memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini mencakup:
a.                   Tindakan intubasi dengan endotracheal tube
b.                   Defibrilasi/ kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c.                   Pemasangan lini infuse.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau asistol ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya, terapi syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi, resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus diupayakan untuk mengendalikan keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan intravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung yang teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia sekunder terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat memberikan respons cepat untuk pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich atau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan sekresi yang menyumbat di jalan napas.
3.    Perawatan Pasca Resusitasi
Fase penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian permulaan. Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72 jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi. Dalam fibrilasi ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol dan bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi. 

4.    Penatalaksanaan Jangka Panjang
Bentuk perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi klinis karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas. Pasien yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang mencapai stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari tahun 1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung di luar rumah sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen pada 1 tahun, 45 persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun. Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki dengan intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.















2.2.       KONSEP DASAR ASKEP
1.        PENGKAJIAN
Prinsip penangan RJP ada 3 langkah yaitu ABC (Airway/pembebasan jalan nafas, Breathing/ usaha nafas, Circulation/ membantu memperbaiki sirkulasi).
a.         Airway (Pembebasan jalan nafas)
Persiapan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan RJP adalah meletakan korban pada permukaan yang keras dan memposisikan pasien dalam kondisi terlentang. Beberapa point penting dalam melakukan pembebasan jalan nafas:
1)        Gunakan triple maneuver (head tilt-chin lift maneuver untuk membuka jalan nafas bagi korban yang tidak memiliki tanda-tanda trauma leher dan kepala).
2)        Apabila terdapat kecurigaan trauma vertebra cervicalis, pembebasan jalan nafas menggunakan teknik Jaw-thrust tanpa ekstensi leher.
3)        Bebaskan jalan nafas dengan membersihkan hal-hal yang menyumbat jalan nafas dengan finger swab atau suction jika ada.
b.         Breathing (Cek pernafasan)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan antara lain:
1.        Cek pernafasan dilakukan dengan cara look (melihat pergerakan pengembangan dada), listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan hembusan nafas) selama 10 detik.
2.         Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak adekuat (misalnya terjadi respirasi gasping pada SCA) atau tidak ditemukan tanda-tanda pernafasan, maka berikan 2 kali nafas buatan (masing-masing 1 detik dengan volume yang cukup untuk membuat dada mengembang).
3.        Volume tidal paling rendah yang membuat dada terlihat naik harus diberikan, pada sebagian besar dewasa sekitar 10 ml/kg (700 sampai 1000 ml).
4.        Rekomendasi dalam melakukan nafas buatan ini antara lain:
a.         Pada menit awal saat terjadi henti jantung, nafas buatan tidak lebih penting dibandingkan dengan kompresi dada karena pada menit pertama kadar oksigen dalam darah masih mencukupi kebutuhan sistemik. Selain itu pada awal terjadi henti jantung, masalah lebih terletak pada penurunan cardiac output sehingga kompresi lebih efektif. Oleh karena inilah alasan rekomendasi untuk meminimalisir interupsi saat kompresi dada
b.        Ventilasi dan kompresi menjadi sama-sama penting saat prolonged VF SCA
c.         Hindari hiperventilasi (baik pernapasan mulut-mulut/ masker/ ambubag) dengan memberikan volume pernapasan normal (tidak terlalu kuat dan cepat)
d.        Ketika pasien sudah menggunakan alat bantuan nafas (ET. LMA, dll) frekuensi nafas diberikan 8-10 nafas/menit tanpa usaha mensinkronkan nafas dan kompresi dada.
5.        Apabila kondisi tidak memungkinkan untuk memberikan nafas buatan (misalnya korban memiliki riwayat penyakit tertentu sehingga penolong tidak aman/resiko tertular) maka lakukan kompresi dada.
6.        Setelah pemberian pernafasan buatan, segera lakukan pengecekan sirkulasi dengan mendeteksi pulsasi arteri carotis (terletak dilateral jakun/tulang krikoid).
7.         Pada pasien dengan sirkulasi spontan (pulsasi teraba) memerlukan ventilasi dengan rata-rata 10-12 nafas/menit dengan 1 nafas memerlukan 5-6 detik dan setiap kali nafas harus dapat mengembangkan dada.
c.         Circulation
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan sirkulasi pada saat melakukan resusitasi jantung dan paru:
1.        Kompresi yang “efektif” diperlukan untuk mempertahankan aliran darah selama resusitasi dilakukan.
2.        Kompresi akan maksimal jika pasien diletakan terlentang pada alas yang keras dan penolong berada disisi dada korban.
3.        Kompresi yang efektif dapat dilakukan dengan melakukan kompresi yang kuat dan cepat (untuk dewasa + 100 kali kompresi/menit dengan kedalam kompresi 2 inchi/4-5 cm; berikan waktu untuk dada mengembang sempurna setelah kompresi; kompresi yang dilakukan sebaiknya ritmik dan rileks).
4.        Kompresi dada yang harus dilakukan bersama dengan ventilasi apabila pernafasan dan sirkulasi tidak adekuat.

2.        DIAGNOSA KEPERAWATAN
1.         Gangguan perfusi cerebral b.d penurunan suplai  O2  ke otak
2.         Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2  tidak adekuat
3.         Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun
3.        INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx I :  Gangguan perfusi serebral b.d penurunan suplai  O2  ke otak
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga transport O2 ­kembali lancar
Kriteria Hasil             :
Ø   Pasien akan mempertahankan tanda-tanda vital dalam batas normal
Ø   Warna dan suhu kulit normal
Ø   CRT  < 2 detik.
Intervensi :
1)      Berikan vasodilator misal nitrogliserin, nifedipin sesuai indikasi
R /Obat diberikan untuk meningkatkan sirkulasi miokardia.
2)      Posisikan kaki lebih tinggi dari jantung
R /Mempercepat pengosongan vena superficial, mencegah distensi berlebihan danmeningkatkan aliran balik vena
3)      Pantau adanya pucat, sianosis dan kulit dingin atau lembab
R /Sirkulasi yang terhenti menyebabkan transport O2 ke seluruh tubuh juga terhenti sehingga akral sebagai bagian yang paling jauh dengan jantung menjadi pucat dan dingin
4)      Pantau pengisian kapiler (CRT)
R /Suplai darah kembali normal jika CRT < 2 detik dan menandakan suplai O2 kembali normal


Dx II : Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2  tidak adekuat
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran gas dapat berlangsung
Kriteria Hasil :       
Ø   Nilai GDA normal
Ø   Tidak ada distress pernafasan
Intervensi :
1)             Berikan O2  sesuai indikasi
R/ Meningkatkan konsentrasi oksigen alveolar dan dapat memperbaiki hipoksemia jaringan
2)             Pantau GDA Pasien
R/ Nilai GDA yang normal menandakan pertukaran gas semakin membaik
3)             Pantau pernapasan klien
R/ Untuk evaluasi distress pernapasan
Dx III : Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun
Tujuan : Meningkatkan kemampuan pompa jantung
Kriteria Hasil :
Ø  Nadi perifer teraba
Ø  Tekanan darah dalam batas normal
Intervensi :
1)      Lakukan Pijat Jantung
R / : untuk mengaktifkan kerja pompa jantung
2)      Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat  sesuai indikasi  (kolaborasi)
R / : Meningkatkan sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas.
3)      Palpasi nadi perifer
R / : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, dorsalis pedis dan postibial. Nadi mungkin hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi
4)      Pantau Tekanan Darah
R / : Pada pasien Cardiac Arrest tekanan darah menjadi rendah atau mungkin tidak ada.
5)      Kaji kulit terhadap pucat dan sianosis
R / : Pucat menunjukkkan menurunnya perfusi sekunder terhadap tidak adekuatnya curah jantung.











BAB III
PENUTUP


3.1.     KESIMPULAN

Kematian jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses kematian yang terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala.
Henti jantung adalah terhentinya kontraksi jantung yang efektif ditandai dengan pasien tidak sadar, tidak bernafas, tidak ada denyut nadi. Pada keadaan seperti ini kesepakatan diagnostis harus ditegakkan dalam 3 – 4 menit. Keterlambatan diagnosis akan menimbulkan kerusakan otak. Harus dilakukan resusitasi jantung – paru.


3.2.     SARAN

Untuk menerapkan asuhan keperawatan gawat darurat  ini, hendaknya kita berpedoman dari segala bentuk aspek keperawatan itu sendiri, sehingga dapat tercapai asuhan keperawatan yang sesuai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar