BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Krisis tiroid merupakan komplikasi hypertiroidisme yang jarang
terjadi tetapi berpotensi fatal. Krisis tiroid harus dikenali dan ditangani
berdasarkan manifestasi klinis karena konfirmasi laboratoris sering kali tidak dapat
dilakukan dalam rentang waktu yang cukup cepat. Pasien biasanya memperlihatkan
keadaan hypermetabolik yang ditandai oleh demam tinggi, tachycardi, mual,
muntah, agitasi, dan psikosis. Pada fase lanjut, pasien dapat jatuh dalam
keadaan stupor atau komatus yang disertai dengan hypotensi.
Krisis tiroid adalah penyakit yang jarang terjadi, yaitu
hanya terjadi sekitar 1-2% pasien hypertiroidisme. Sedangkan insidensi
keseluruhan hipertiroidisme sendiri hanya berkisar antara 0,05-1,3% dimana
kebanyakannya bersifat subklinis. Namun, krisis tiroid yang tidak dikenali dan
tidak ditangani dapat berakibat sangat fatal. Angka kematian orang dewasa pada
krisis tiroid mencapai 10-20%. Bahkan beberapa laporan penelitian menyebutkan
hingga setinggi 75% dari populasi pasien yang dirawat inap.1 Dengan
tirotoksikosis yang terkendali dan penanganan dini krisis tiroid, angka
kematian dapat diturunkan hingga kurang dari 20%.
Karena penyakit Graves merupakan penyebab hipertiroidisme
terbanyak dan merupakan penyakit autoimun yang juga mempengaruhi sistem organ
lain, melakukan anamnesis yang tepat sangat penting untuk menegakkan diagnosis.
Hal ini penting karena diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran laboratories. Hal
lain yang penting diketahui adalah bahwa krisis tiroid merupakan krisis
fulminan yang memerlukan perawatan intensif dan pengawasan
terus-menerus. Dengan diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat,
prognosis biasanya akan baik. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang
tepat tentang krisis tiroid, terutama mengenai diagnosis dan penatalaksaannya.
B. TUJUAN PENULISAN
a. Tujuan umum
Untuk memperoleh
gambaran tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien thyroiditis dengan
menggunakan metode proses keperawatan.
b. Tujuan khusus
1
Mampu membuat pengkajian keperawatan pada klien dengan
thyroiditis
2.
Mampu membuat diagnosa keperawatan berdasarkan anamnesa
3.
Mampu membuat rencana keperawatan berdasakan teori keperawatan
4.
Mampu membuat
implementasi keperawatan
5.
Mampu melakukan evaluasi
keperawatan
BAB II
TINJAUAN TEORI
I.
KONSEP DASAR
A. PENGERTIAN
a. Krisis tiroid adalah
suatu keadaan dimana gejala-gejala dari tirotoksikosis dengan sekonyong-konyong
menjadi hebat dan disertai oleh hyperpireksia, takikardia dan kadang-kadang
vomitus yang terus menerus.
b. Krisis tiroid adalah
kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan ditandai oleh demam tinggi dan
disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan sistem saluran
cerna. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan gejala
akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa kelainan
fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan,terjadi kumpulan
gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis.
c. Krisis tiroid
merupakan keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis
tersebut. Tipikalnya terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak
terobati atau tidak tuntas terobati yang dicetuskan oleh tindakan operatif,
infeksi, atau trauma.
B. Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter
multinodular toksik, nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain,
karsinoma tiroid folikular metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang
paling banyak menyebabkan krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus
toksik). Meskipun tidak biasa terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan
komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi ini diakibatkan oleh manipulasi
kelenjar tiroid selama operasi pada pasien hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat
terjadi sebelum, selama, atau sesudah operasi.Operasi umumnya hanya
direkomendasikan ketika pasien mengalami penyakit Graves dan strategi terapi
lain telah gagal atau ketika dicurigai adanya kanker tiroid. Krisis tiroid
berpotensi pada kasus-kasus seperti ini dapat menyebabkan kematian.
Krisis tiroid juga dikaitkan dengan hipokalsemia berat. Seorang
kasus wanita berusia 30 tahun dengan krisis tiroid dan gangguan fungsi ginjal
menunjukkan adanya hipokalsemia. Hipokalsemia pada kasus tersebut telah ada
saat kreatinin serumnya masih normal. Kadar serum normal fragmen ujung asam
amino hormon paratiroid dalam keadaan hipokalsemia pada kasus tersebut
menunjukkan adanya gangguan fungsi paratiroid. Karena kadar serum magnesiumnya
normal dan tidak memiliki riwayat operasi tiroid ataupun terapi radio-iodium,
hipoparatiroidisme yang terjadi dianggap idiopatik. Kasus ini adalah kasus
ketujuh yang disebutkan di literatur tentang penyakit Grave yang disertai
hipoparatiroidisme idiopatik.
Krisis tiroid dilaporkan pula terjadi pada pasien nefritis
interstisial. Kasus seorang pria berusia 54 tahun yang telah diterapi dengan
tiamazol (5 mg/hari) menunjukkan kadar hormon tiroid yang meningkat tajam
setelah dilakukan eksodontia. Meskipun dosis tiamazol yang diresepkan dinaikkan
setelah eksodontia pada hari keempat, pria ini mengalami krisis tiroid pada
hari ke-52 pasca eksodontia. Temuan laboratoris juga menunjukkan disfungsi
ginjal (kreatinin 1,8 mg/dL pada hari ke 37 pasca eksodontia). Kadar hormon
tiroid kembali dalam batas normal setelah tiroidektomi subtotal. Namun, kadar
serum kreatinin masih tetap tinggi. Pria ini kemudia didiagnosis dengan
nefritis interstisial berdasarkan hasil biopsi ginjal dan diterapi dengan
prednisolon 30 mg/hari. Kasus ini mewakilit kejadian krisis tiroid yang terjadi
meskipun tiamazol ditingkatkan dosisnya setelah eksodontia. Tampak bahwa
nefritis interstisial sebagaimana pula eksodontia merupakan faktor yang dapat
meningkatkan fungsi tiroid. Setelah buruknya respon terhadap obat anti-tiroid,
penting untuk mencegah krisis tiroid dengan menentukan faktor-faktor ini dan
pengobatan yang sesuai.
C.
PATOFISIOLOGI
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone (TRH)
yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-stimulating hormone (TSH)
dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid.
Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone
thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan
ginjal menjadi bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3).
T4 dan T3 terdapat dalam
2 bentuk:
1) bentuk yang bebas
tidak terikat dan aktif secara biologik;
2) bentuk yang terikat padathyroid-binding
globulin (TBG).
Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi
dengan gambaran klinis klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon
tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai kelenjar
pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan
pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter
natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan
autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang
terus-menerus oleh autoantibodi terhadap reseptor TSH dan berikutnya sekresi
TSH ditekan karena peningkatan produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut
paling banyak ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini
menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic
adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu, antibodi
ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan
pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh
dalam merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang
melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang
semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa
peningkatan sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat
tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk bertahannya
nyawa pasien dan menyebabkan kematian.2 Diduga bahwa hormon
tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor
alfa. Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin
normal pada pasien tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami,
teori berikut ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid
dilaporkan memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien
dengan tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak
meningkat. pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul.
Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis
hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan
reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis
krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis
tiroid setelah tertelan obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori
ini. Teori ini juga menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan
kecepatan ekskresi urin katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan
mengapa beta-blockers gagal menurunkan kadar hormon tiroid
pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai
akibat patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang
dapat terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar
hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat
ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat
pemeriksaan,atau mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive
iodine(RAI). Teori lainnya yang pernah diajukan termasuk perubahan toleransi
jaringan terhadap hormon tiroid, adanya zat mirip katekolamin yang unik pada
keadaan tirotoksikosis, dan efek simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai
akibat kemiripan strukturnya dengan katekolamin.
D.
MANIFESTASI KLINIS
Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau
gejala-gejala seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan
kurang dengan berat badan sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi suhu,
serta prestasi sekolah yang menurun akibat penurunan rentang perhatian. Riwayat
penyakit sekarang yang umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam, berkeringat
banyak, penurunan nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna
yang sering diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice.Sedangkan
keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak pada remaja
tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur
konsisten melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia
hingga melebihi 41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda
kardiovaskular yang ditemukan antara lain hipertensi dengan tekanan nadi
yang melebar atau hipotensi pada fase berikutnya dan disertai syok. Takikardi
terjadi tidak bersesuaian dengan demam. Tanda-tanda gagal jantung antara lain
aritmia (paling banyak supraventrikular, seperti fibrilasi atrium, tetapi
takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan tanda-tanda neurologik
mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan tanda piramidal transien,
tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis mencakup tanda orbital dan
goiter.
Selain kasus tipikal seperti digambarkan di atas, ada satu
laporan kasus seorang pasien dengan gambaran klinis yang atipik (normotermi dan
normotensif) yang disertai oleh sindroma disfungsi organ yang multipel, seperti
asidosis laktat dan disfungsi hati, dimana keduanya merupakan komplikasi yang
sangat jarang terjadi. Kasus ini menunjukkan bahwa kedua sistem organ ini
terlibat dalam krisis tiroid dan penting untuk mengenali gambaran atipik ini
pada kasus-kasus krisis tiroid yang dihadapi.
E.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan
pada gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan
ditemukan konsisten dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika
pasien belum terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan
didapat dengan cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera.
Temuan biasanya mencakup peningkatan kadar T3, T4danbentuk bebasnya,
peningkatan uptake resinT3,penurunankadarTSH,dan
peningkatan uptake iodium 24 jam.
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan
tetapi hal ini jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan
yang tidak spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH,
kreatinin kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas darah,
pengukuran kadar gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk
menilai dan memonitor penanganan jangka pendek.
F.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan krisis tiroid perlu proses dalam beberapa
langkah. Idealnya, terapi yang diberikan harus menghambat sintesis, sekresi,
dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan suportif yang agresif dilakukan
kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan membalikkan dekompensasi multi
organ. Pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mengidentifikasi dan
mengatasi faktor pencetusnya yang kemudian diikuti oleh pengobatan definitif
untuk mencegah kekambuhan. Krisis tiroid merupakan krisis fulminan yang memerlukan
perawatan intensif dan pengawasan terus-menerus.
G. MACAM – MACAM
PENATALAKSANAA KRISIS TIROID
a.
Penatalaksanaan: menghambat sintesis hormon tiroid
Senyawa anti-tiroid seperti propylthiouracil (PTU)
dan methimazole (MMI) digunakan untuk menghambat sintesis
hormon tiroid. PTU juga menghambat
konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer dan lebih disukai daripada MMI pada
kasus-kasus krisis tiroid. Sedangkan MMI merupakan agen farmakoogik yang umum
digunakan pada keadaan hipertiroidisme. Keduanya menghambat inkorporasi iodium
ke TBG dalam waktu satu jam setelah diminum. Riwayat hepatotoksisitas atau
agranulositosis dari terapi tioamida sebelumnya merupakan kontraindikasi kedua
obat tersebut.4 PTU diindikasikan untun hipertiroidisme yang
disebabkab oleh penyakit Graves. Laporan penelitian yang mendukungnya
menunjukkan adanya peningkatan risiko terjadinya toksisitas hati atas
penggunaan PTU dibandingkan dengan metimazol. Kerusakan hati serius telah
ditemukan pada penggunaan metimazol pada lima kasus (tiga diantaranya
meninggal). PTU sekarang dipertimbangkan sebagai terapi obat lini kedua kecuali
pada pasien yang alergi atau intoleran terhadap metimazol atau untuk wanita
dengan kehamilan trimester pertama. Penggunaan metimazol selama kehamilan
dilaporkan menyebabkan embriopati, termasuk aplasia kutis, meskipun merupakan
kasus yang jarang ditemui.
Awasi secara ketat terapi PTU atas kemungkinan timbulnya gejala
dan tanda kerusakan hati, terutama selama 6 bulan pertama setelah terapi
dimulai. Untuk suspek kerusakan hati, hentikan bertahap terapi PTU dan uji
kembali hasil pemeriksaan kerusakan hati dan berikan perawatan suportif. PTU
tidak boleh digunakan pada pasien anak kecuali pasien alergi atau intoleran
terhadap metimazol dan tidak ada lagi pilihan obat lain yang tersedia. Berikan
edukasi pada pasien agar menghubungi dokter jika terjadi gejala-gejala berikut:
kelelahan, kelemahan, nyeri perut, hilang nafsu makan, gatal, atau menguningnya
mata maupun kulit pasien.
b.
Penatalaksanaan: menghambat sekresi hormon tiroid
Setelah terapi anti-tiroid dimulai, hormon yang telah dilepaskan
dapat dihambat dengan sejumlah besar dosis iodium yang menurunkan uptake iodium
di kelenjar tiroid. Cairan lugol atau cairan jenuh kalium iodida dapat
digunakan untuk tujuan ini. Terapi iodium harus diberikan setelah sekitar satu
jam setelah pemberian PTU atau MMI. Perlu diketahui bahwa iodium yang digunakan
secara tunggal akan membantu meningkatkan cadangan hormon tiroid dan dapat
semakin meningkatkan status tirotoksik. Bahan kontras yang teiodinasi untuk
keperluan radiografi, yaitu natrium ipodat, dapat diberikan untuk keperluan
iodium dan untuk menghambat konversi T4 menjadi T3 di sirkulasi perifer. Kalium
iodida dapat menurunkan aliran darah ke kelenjar tiroid dan hanya digunakan
sebelum operasi pada tirotoksikosis.
Pasien yang intoleran terhadap iodium dapat diobati dengan
litium yang juga mengganggu pelepasan hormon tiroid. Pasien yang tidak dapat
menggunakan PTU atau MMI juga dapat diobati dengan litium karena penggunaan
iodium tunggal dapat diperdebatkan. Litium menghambat pelepasan hormon tiroid
melalui pemberiannya. Plasmaferesis, pertukaran plasma, transfusi tukar dengan
dialisis peritoneal, dan perfusi plasma charcoal adalah teknik
lain yang digunakan untuk menghilangkan hormon yang berlebih di sirkulasi
darah. Namun, sekarang teknik-teknik ini hanya digunakan pada pasien yang
tidak merespon terhadap penanganan lini awal. Preparat intravena natrium iodida
(diberikan 1 g dengan infus pelan per 8-12 jam) telah ditarik dari pasaran.
c.
Penatalaksanaan: menghambat aksi perifer hormon tiroid
Propranolol adalah obat pilihan untuk melawan aksi perifer
hormon tiroid. Propranolol menghambat reseptor beta-adrenergik dan mencegah
konversi T4 menjadi T3. Obat ini menimbulkan perubahan dramatis pada
manifestasi klinis dan efektif dalam mengurangi gejala. Namun, propranolol
menghasilkan respon klinis yang diinginkan pada krisis tiroid hanya pada dosis
yang besar. Pemberian secara intravena memerlukan pengawasan berkesinambungan
terhadap irama jantung pasien.
Sekarang, esmolol merupakan agen beta-blocker aksi
ultra-cepat yang berhasil digunakan pada krisis tiroid. Agen-agen beta-blocker non-selektif,
seperti propranolol maupun esmolol, tidak dapat digunakan pada pasien dengan
gagal jantung kongestif, bronkospasme, atau riwayat asma. Untuk kasus-kasus
ini, dapat digunakan obat-obat seperti guanetidin atau reserpin. Pengobatan
dengan reserpin berhasil pada kasus-kasus krisis tiroid yang resisten terhadap
dosis besar propranolol. Namun, guanetidin dan reserpin tidak dapat digunakan
pada dalam keadaan kolaps kardiovaskular atau syok.
d.
Penatalaksanaan: penanganan suportif
Terapi cairan dan elektrolit yang agresif diperlukan untuk
mengatasi dehidrasi dan hipotensi. Keadaan hipermetabolik yang berlebihan
dengan peningkatan transit usus dan takipnu akan membawa pada kehilangan cairan
yang cukup bermakna. Kebutuhan cairan dapat meningkat menjadi 3-5 L per hari.
Dengan demikian, pengawasan invasif disarankan pada pasien-pasien lanjut usia
dan dengan gagal jantung kongestif. Agen yang meningkatkan tekanan darah dapat
digunakan saat hipotensi menetap setelah penggantian cairan yang adekuat.
Berikan pulan cairan intravena yang mengandung glukosa untuk mendukung
kebutuhan gizi. Multivitamin, terutama vitamin B1, dapat ditambahkan
untuk mencegah ensefalopati Wernicke. Hipertermia diatasi melalui aksi sentral
dan perifer.
Asetaminofen merupakan
obat pilihan untuk hal tersebut karena aspirin dapat menggantikan hormon tiroid
untuk terikat pada reseptornya dan malah meningkatkan beratnya krisis tiroid.
Spons yang dingin, es, dan alkohol dapat digunakan untuk menyerap panas secara
perifer. Oksigen yang dihumidifikasi dingin disarankan untuk pasien ini.
Penggunaan glukokortikoid pada krisis tiroid dikaitkan dengan
peningkatan angka harapan hidup. Awalnya, glukokortikoid digunakan untuk
mengobati kemungkinan insufisiensi relatif akibat percepatan produksi dan
degradasi pada saat status hipermetabolik berlangsung. Namun, pasien mungkin
mengalami defisiensi autoimun tipe 2 dimana penyakit Graves disertai oleh
insufisiensi adrenal absolut. Glukokortikoid dapat menurunkanuptakeiodium
dan titer antibodi yang terstimulasi oleh hormon tiroid disertai stabilisasi
anyaman vaskuler. Sebagai tambahan, deksametason dan hidrokortison dapat
memiliki efek menghambat konversi T4 menjadi T3. Dengan demikian, dosis
glukokortikoid, seperti deksametason dan hidrokortison, sekarang rutin
diberikan.
Meskipun seringkali muncul pada pasien lanjut usia, dekompensasi
jantung juga dapat muncul pada pasien yang muda dan bahkan pada pasien tanpa
penyakit jantung sebelumnya. Pemberian digitalis diperlukan untuk mengendalikan
laju ventrikel pada pasien dengan fibrilasi atrium. Obat-obat anti-koagulasi
mungkin diperlukan untuk fibrilasi atrium dan dapat diberikan jika tidak ada
kontraindikasi. Digoksin dapat digunakan pada dosis yang lebih besar daripada
dosis yang digunakan pada kondisi lain. Awasi secara ketat kadar digoksin untuk
mencegah keracunan. Seiring membaiknya keadaan pasien, dosis digoksin dapat
mulai diturunkan. Gagal jantung kongestif muncul sebagai akibat gangguan
kontraktilitas miokardium dan mungkin memerlukan pengawasan dengan kateter
Swan-Ganz.
Keadaan hiperadrenergik telah dilaporkan pada pasien
hipertiroid. Hilangnya tonus vagal selama tirotoksikosis dapat memicu iskemia
miokardial transien dan pengawasan jangka panjang elektrokardiogram (EKG) dapat
meningkatkan deteksi takiaritmia dan iskemia miokardial tersebut. Blokade
saluran kalsium mungkin merupakan terapi yang lebih cocok dengan melawan efek
agonis kalsium yang terkait hormon tiroid pada miokardium dan memperbaiki
ketidakseimbangan simpatovagal.
e.
Penatalaksanaan: efek samping
Efek samping PTU yang pernah dilaporkan adalah perdarahan atau
gusi mudah berdarah, kerusakan hati (anoreksia, pruritus, nyeri perut kanan
atas, peningkatan kadar transaminase hingga tiga kali nilai normal), infeksi
(terjadi akibat agranulositosis), pruritus hingga dermatitis eksfoliatif,
vaskulitis maupun ulkus oral vaskulitik, dan pioderma gangrenosum. Meskipun
termasuk rekomendasi D, beberapa pendapat ahli masih merekomendasikan bahwa
obat ini harus tetap dipertimbangkan sebagai lini pertama terapi penyakit
Graves selama kehamilan. Risiko kerusakan hati serius, seperti gagal hati dan
kematian, telah dilaporkan pada dewasa dan anak, terutama selama enam bulan
pertama terapi.
Agranulositosis adalah efek samping yang jarang terjadi pada
penggunaan obat anti-tiroid dan merupakan etiologi atas infeksi yang didapat
dari komunitas dan mengancam jiwa pasien yang menggunakan obat-obat ini.
Manifestasi klinis yang sering muncul adalah demam (92%) dan sakit tenggorokan
(85%). Diagnosis klinis awal biasanya adalah faringitis akut (46%), tonsilitis
akut (38%), pneumonia (15%) dan infeksi saluran kencing (8%). Kultur darah
positif untuk Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Staphylococcus
aureus, Capnocytophaga species. Kematian disebabkan oleh
infeksi yang tidak terkendali, krisis tiroid dan gagal organ yang multipel.
Basil Gram negatif, seperti Klebsiella pneumoniae dan P.
aeruginosa, merupakan patogen yang paling sering ditemui pada isolat
klinis. Antibiotik spektrum luas dengan aktifitas anti-pseudomonas harus
diberikan pada pasien dengan agranulositosis yang disebabkan oleh obat
anti-tiroid yang menampilkan manifestasi klinis infeksi yang berat.
H.
KOMPLIKASI
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara
lain hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme
pada tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia
akibat oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung
dengan curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot
proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi
krisis tiroid yang jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia
50 tahun yang mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit
dilakukan pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah
kadar plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga
6,238 mM.
Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan
keadaan normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan
untuk menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini
memerlukan penanganan kegawatdaruratan. Penting pula untuk menerapkan
prinsip-prinsip standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.
I.
PROGNOSIS
Krisis tiroid dapat berakibat fatal jika tidak ditangani. Angka
kematian keseluruhan akibat krisis tiroid diperkirakan berkisar antara 10-20%
tetapi terdapat laporan penelitian yang menyebutkan hingga 75%, tergantung
faktor pencetus atau penyakit yang mendasari terjadinya krisis tiroid. Dengan
diagnosis yang dini dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.
J.
PENCEGAHAN
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang
ketat setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik
hanya setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis
tiroid setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian
obat anti-tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan
ditahan hingga 5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid
dari folikel yang rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri.
Karena kadar hormon tiroid seringkali lebih tinggi sebelum
terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli endokrinologi meyakini bahwa
penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab utama krisis tiroid. Satu
pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid (termasuk metimazol) hanya 3
hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai kembali obat dalam 3 hari
setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang lebih dini setelah terapi
RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga memerlukan dosis kedua. Perlu pula
dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid sebelum prosedur operatif dilakukan
pada pasien yang berisiko mengalami hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan
sindroma McCune-Albright).
II.
KONSEP
DASAR ASUHAN
KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
Dasar
Data Pengkajian
a.
Aktifitas
/ istirahat
Gejala
: insomnia, sensitivitas T, otot lemah, gangguan koordinasi, kelelahan otot.
Tanda
: atrofi otot.
b. Sirkulasi
Gejala : palpitasi,
nyeri dada (angina).
Tanda : disritma
(vibrilasi atrium), irama gallop, mur-mur, peningkatan tekanan darah dengan
tekanan nada yang berat.Takikardi
saat istirahat, sirkulasi kolaps, syok (krisis tiroksikosi)
c. Eliminasi
Gejala
: urine dalam jumlah banyak, perubahan dalam feces, diare.
d. Integritas ego
Gejala : mengalami stres
yang berat (emosional, fisik)
Tanda : emosi labil
9euforia sedang sampai delirium), depresi
e. Makanan & cairan
Gejala : kehilangan
berat badan mendadak, napsu makan meningkat, makan banyak, makannya sering
kehausan, mual, muntah.
Tanda
: pembesaran tiroid, goiter, edema non pitting terutama daerah pretibial.
f. Neurosensori
Tanda
: bicara cepat dan parau, gangguan status mental, perilaku (bingung,
disorientasi, gelisah, peka rangsang), tremor halus pada tangan, tanpa tujuan
beberapa bagian tersentak-sentak, hiperaktif refleks tendon dalam (RTP).
g. Nyeri/kenyamanan
Gejala
: nyeri orbital, fotofobia.
h. Pernapasan
Tanda : frekuensi
pernapasan meningkat, takipnea, dispea, edema paru (pada krisis
tirotoksikosis).
i.
Keamanan
Gejala : tidak
toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan, alergi terhadap iodium
(mungkin digunakan saat pemeriksaan).
Tanda : suhu
meningkat di atas 37,4ºC, diaforesis kulit halus, hangat dan kemerahan
Eksotalus: retraksi, iritasi pada
konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi pada pretibial)
yag menjadi sagat parah.
j.
Seksualitas
Tanda : penurunan
libido, hipomenorea, amenorea dan impoten.
B. Diagnosa
Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan proses
inflamasi.
2. Hipertermi berhubungan dengan
proses inflamasi.
3. Perubahan nutirsi kurang dari
keb.tubuh berhubungan dengan proses penyakit.
4. Bersihan jalan napas berhubungan
pembengkakan
5. Kurang pengetahuan berhubungan
dengan kurangnya terpajanya informasi
C. Intervensi keperawatan
a. Nyeri berhubungan dengan proses
inflamasi
Tujuan
:setelah dilakukan tindakan keperawatan
1x24 jam diharapkan nyerinya dapat berkurang .Dengan kriteria hasil :
nyeri dapat hilang
Intervensi
1. Kaji adanya tanda tanda nyeri baik
itu verbal maupun non verbal
R/Bermanfaat dalam mengevaluasi nyeri
2. Letakan pasien dalam posisi
semifoler dan sokong kepala atau leher dengan bantal pasir atau bantal kecil .
R/Mencegah
hipereksentesi leher dan melindungi integritas garis jahitan
3. Pantau kondisi pasien tiap 2 jam
R/ Untuk mengetahui kondisi pasien
dan mencegah terjadinya komplikasi
4. Colaburasi untuk pemberian analgetik
R/ Dapat
membantu mengurangi rasa nyeri.
b. Hipertermi berhubungan dengan proses
inflamasi.
Setelah
mendapatkan asuhan jeperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan :
Ø Suhu tubuh normal (36.5-37.5 0
C)
Ø Tidak ada tanda dehidrasi
Ø Mukosa bibir lembab
Intervensi :
1. Berikan kompres
panas pada ketiak
R/ dapat
membantu proses penurunan panas yang dialami pasien
2. Anjurkan klien untuk menggunakan
baju yang dapat menyerap keringat
R/ karena kondisi tubuh yang lembab
memicu pertumbuhan jamur sehingga beresiko menimbulkan komplikasI
3. monitoring TTV
R/ sebagai
indicator untuk mengetahui perkembangan hipertermi
4. Kolaborasi untuk pemberian obat
R/ membantu menuunkan
suhu tubuh pasien
c. Perubahan nutirsi kurang dari
keb.tubuh berhubungan dengan proses penyakit.
Setelah mendapatkan asuhan
jeperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan :
Ø Porsi makan kembali normal
Ø BB normal
Ø Pemeriksaan lab.normal dan tidak
menunjukan tanda-tanda malnutrisi
Intervensi :
1. Awasi pemasukan diet,berikan makan
sedikit tapi sering
R/ untuk
menghindari mual dan muntah dan memenuhi
keb.nutrisi pasien
2. Berikan perawatan mulut sebelum
makan
R/ menghilangkan
rasa tidak enak
3. Anjurkan klien makan dalam posisi
duduk tegak
R/ Mencegah
tersedak
4. Kolaborasi dengan tim gizi
d.
Kurang
pengetahuan berhubungan dengan kurang terpajanya informasi Tujuanya : setelah dilakukan tindakan
keperawatan 3x 24 jam diharapkan klien
dapat mengidentifikasi keadaan yang membuat stress dengan penyakitnya .
Dengan kriteria hasil:
Klien dapat mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya .
Intervensi
1.
Tinjauan ulang keadaan penyakit
R/.Memberikan
pengetahuan pasien yang dapat memilih berdasarkan informasi .
2.
Diskusikan
mengenai diet seperti ,diet tinggi karbohidrat
R/ .Mencegah kehilangan BBdan menurunkan
resiko munculnya hipoglikemia
3.
Hindari
hilangnya dosis obat saat pemberian.
R/ .Kegagalan dalam pembuatan program bergantian pasien pada terjadinya krisis .
4.
Diskusikan
pentingnya melihat ulang pengobatan secara teratur
R/.
untuk memudahkan pengendalian kondisi kronis serta pengenceran sekresi
5.
Bersihan
jalan napas berhubungan dengan pembengkakan
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan
keperawatan 1x24 jam klien tidak cemas lagi
Dengan
kriteria hasil :Melakukan Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan 1x24
jam diharapkan klien tidak sesak lagi .dengan kriteria hasil : pola napas kembali normal(16 Sampai 24 kali per menit )
Intervensi
a.
Pantau
frekuensi pernapasan,kedalaman,dan kerja pernapasan
R/
pernapasan secara normal kadang kadang cepat
b.
Auskultasi
suara napas ,catat adanya suara ronki
R/
Ronki merupakan indikasi adanya obstruksi laryngeal yang membutuhkan evaluasi
dan intervensi segera
c. Kaji adanya dispnea strider ,dan
sianosis ,perhatikan kualitas suara
R/
Indikator obstuksi trakea dan dapat membutuhkan intervensi segera .
d.
Bantu
dalam perubahan posisi ,latihan napas dalam,dan batuk efektif .
R/
Mempertahankan kebersihan jalan napas dan ventilasi.
e.
Selidiki
kesulitan menelan
R/
merupakan indikasi edema / perdarahan yang membeku pada jaringan di sekitar
daerah operasi .
f. Kolaborasi :Berikan inhalasi uap
udara ruangan yang lembab.
R/
Menurunkan rasa tidak nyaman karena sakit tenggorokan
Dan edema
jaringan dan meningkatkan perubahan gaya hidup yang baik dan teratur
g.
Dorong
latihan umum progresif
R/ Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat
kepetusan berdasarkan informasi
D.IMPLEMENTASI
Sesuai intervensi
E.EVALUASI
Sesuai tujuan
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa
dan ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem
saraf, dan sistem saluran cerna. Etiologi yang paling banyak menyebabkan krisis
tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Krisis tiroid timbul saat
terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon hormon tiroid yang
menyebabkan hipermetabolisme berat.
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan
pada gambaran laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid,
terapi tidak boleh ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan
laboratorium atas tirotoksikosis. Penatalaksanaan krisis tiroid harus
menghambat sintesis, sekresi, dan aksi perifer hormon tiroid. Penanganan
suportif yang agresif dilakukan kemudian untuk menstabilkan homeostasis dan
membalikkan dekompensasi multi organ. Angka kematian keseluruhan akibat krisis
tiroid diperkirakan berkisar antara 10-75%. Namun, dengan diagnosis yang dini
dan penanganan yang adekuat, prognosis biasanya akan baik.
B. SARAN
Ø Diharapkan siswa dapat
memperoleh gambaran tentang pelaksanaan Asuhan Keperawatan pada klien
thyroiditis dengan menggunakan metode proses keperawatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar