BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Epilepsi merupakan salah satu penyakit syaraf yang
sering dijumpai, terdapat pada semua bangsa, segala usia dimana laki – laki
sedikit lebih banyak dari wanita. Insiden tertinggi terdapat pada golongan usia
dini yang akan menurun pada gabungan usia dewasa muda sampai setengah tua
kemudian meningkat lagi pada usia lanjut.
Epilepsi itu sendiri didefenisikan sebagai kumpulan gejala dan tanda –
tanda klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten yang
terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron –
neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi.
Prevalensi epilepsi berkisar antara 0,5% - 2%. Di
Indonesia penelitian epidemiologik tentang epilepsi belum pernah dilakukan namun
bila dipakai angka prevalensi yang dikemukakan seperti dalam rujukan maka dapat
diperkirakan bahwa bila penduduk Indonesia saat ini sekitar 220 juta akan
ditemukan antara 1,1 sampai 4,4, juta penderita penyandang epilepsi.
Upaya yang harus dilakukan dalam mengatasi penyakit epilepsi
sebaiknya dibutuhkan penanganan secara terpadu dari berbagai pihak baik itu
dari keluarga, masyarakat dan petugas kesehatan agar dapat bebas dari serangan
epileptik.
B.
Tujuan Penulisan
1.
Tujuan Umum : mahasiswa/i keperawatan dapat memahami
konsep Dasar Teori dari Epilepsi.
2.
Tujuan Khusus :
a. Mengidentifikasi
pengkajian pada klien dengan Epilepsi.
b. Mengidentifikasi
masalah keperawatan pada pada klien dengan Epilepsi.
c. Mengidentifikasi
intervensi keperawatan pada pada klien dengan Epilepsi.
d. Mengidentifkasi
tindakan keperawatan pada klien dengan Epilepsi.
e. Mengidentifikasi
evaluasi keperawatan pada klien dengan Epilepsi.
C.
Metode
Penulisan
Metode penulisan yang digunakan dalam menyusun makalah ini yaitu dengan “studi kepustakaan” dengan mempelajari buku – buku dan sumber lain
yang berhubungan dengan Epilepsi.
D.
Sistematika
Penulisan
Makalah ini disusun secara sistematis, terdiri dari 3 Bab yaitu :
Bab I : Pendahuluan terdiri
dari Latar Belakang, Tujuan Penulisan, Metode Penulisan dan Sistematika
Penulisan.
Bab II : Tinjauan Pustaka
terdiri dari Konsep Dasar Medis dan Konsep Dasar Askep.
Bab III : Penutup terdiri dari
Kesimpulan dan Saran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.
KONSEP DASAR
MEDIS
1)
Pengertian
Epilepsi adalah : Suatu gangguan fungsional kronik
dan banyak jenisnya dan ditandai oleh serangan yang berulang (Price A. Sylvia,
2005).
Epilepsi adalah : Gejala
kompleks dari banyak gangguan fungsi tepat otak yang di karakteristik oleh kejang berulang – ulang, keadaan ini dapat dihubungkan dengan kehilangan
kesadaran, gerakan berlebihan atau hilangnya tonus otot atau gerakan dan gangguan berlaku, alam perasaan, sensasi,
persepsi, sehingga epilepsi bukan suatu penyakit tetapi gejala. (Brunner
& Suddarth, 2001).
2) Etiologi
a.
Idiopatik;
sebagian besar epilepsy pada anak adalah epilepsi idiopatik
b.
Faktor
herediter; adalah beberapa penyakit yang bersifat herediter yang disertai
bangkitan kejang seperti sklerotis tuberosa, neurofibromatosis, angiomatosis
ensefalotrigeminal. Fenilketonuria, hipoparatiroidisme, hipoglikimia.
c.
Faktor genetic;
pada kejang deman dan breath holding spells
d.
Kelainan
congenital otak; atrofi, porensefasi, agenesis, korpus kalosum
e.
Gangguan
metabolic; hipoglikimia, hipokalsemia, hiponatremia, hipernatremia
f.
Infeksi; radang
yang disebabkan bakteri atau virus pada otak dan selaputnya toksolakmosis
g.
Trauma;
kontosio serebri, hematoma subraknoid, hematema subdural
h.
Neoplasma
otakadan selaputnya
i.
Kelainan
pembuluh darah, malformasi, penyakit kolagen
j.
Keracunan;
timbal(Pb), kamper (kapur barus), fenotiazin, air
k.
Lain-lain;
penyakit darah , gangguan keseimbangan hormon, degenerasi serebral, dan
lain-lain
3) Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi ialah faktor
yang mempermudah terjadinya serangan, yaitu:
a.
Faktor sensoris:
cahaya yang berkedip-kedip, bunyi-bunyi yang mengejutkan air panas
b.
Faktor
sintemis: demam, penyakit infeksi, otot-otot tertentu misalnya golongan
fenotiazin, klorpropamid, hipoglikimia, kelelehan fisik
c.
faktor mental:
stress, gangguan emosi
4) Klasifikasi Epilepsi
a.
Berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi)
1.
Serangan Persial
a.
Serangan persial sederhana (kesadaran baik)
-
Dengan gejala motorik
-
Dengan gejala sensorik
-
Dengan gejala otonom
-
Dengan gejala psikis
b.
Serangan persial kompleks (kesadaran terganggu)
-
Serangan persial sederhana diikuti dengan gangguan
kesadaran
-
Gangguan kesadaran saat awal serangan
c.
Serangan umum sederhana
-
Persial sederhana menjadi tonik – tonik
-
Persial kompleks menjadi tonik – tonik
2.
Serangan Umum
a.
Absans (Lena)
b.
Mioklonik
c.
Klonik
d.
Tonik
e.
Atonik (Astatik)
f.
Tonik – Klonik
3.
Serangan yang tidak terklasifikasi (sehubungan dengan
data yang kurang lengkap)
Klasifikasi ILAE tahun 1981 diatas ini lebih mudah digunakan untuk para
klinisi karena hanya ada dua kategori utama yaitu :
-
Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai
dari fokus yang terlokalisir di otak.
-
Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada
daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.
b.
Klasifikasi menurut Sindroma Epilepsi
1.
Berkaitan dengan letak fokus
a.
Idiopatik
-
Epilepsi Rolandik Benigna (Childhood epilepsi with
centro tempora spike)
-
Epilepsi pada anak dengan paroksimal oksipital.
b.
Simptomatik
-
Lobus temporalis
-
Lobus frontalis
-
Lobus parientalis
-
Lobus oksipitalis
2.
Umum
a.
Idiopatik
-
Kejang neonatus familial benigna
-
Kejang neonatus benigna
-
Kejang epilepsi mioklonik pada bayi
-
Epilepsi absans pada anak
-
Epilepsi absans pada remaja
-
Epilepsi mioklonik pada remaja
b.
Simptomatik
-
Sindroma west (spasmus infantile)
-
Sindroma lennox Gastaut
3.
Berkaitan dengan lokasi dengan epilepsi umum (campuran
idanz)
-
Serangan neonatal
4.
Epilepsi yang berkaitan dengan situasi
-
Kejang demam
-
Berkaitan dengan alkohol
-
Berkaitan dengan obat – obatan
-
Eklampsia
-
Serangan yang berkaitan dengan pencetus spesifik
(reflex epilepsi)
5)
Patofisiologi
Otak terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya
saling berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui implus
listrik dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotrasmiter.
Dalam keadaan normal lalu lintas implus antar neuron
berlangsung dengan baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu lintas
antar neuron menjadi kacau kalau dikarenakan breaking system pada otak
terganggu maka neuron – neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotrasmiter
yang berperan dalam mekanisme pengaturan ini adalah :
-
Glutamat yang merupakan brain’s excitatory
neurotransmitter.
-
GABA (Gama Aminobytiric Acid) yang bersifat sebagai
brain’s inbitory neurotransmitter.
Golongan neurotransmitter lain yang bersifat eksitatonik
aspartat dan astelin kolin sedangkan yang bersifat inhinitonik lainnya adalah
noradrenalin, dopamine serotonin (5 – HT) dan peptide. Neurotrasmiter ini
hubungannya dengan epilepsi belum jelas dan masih perlu penelitian lebih
lanjut.
Epileptik seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh
transisi impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga
terjadilah apapun yang disebut sinkronisasi dari implus. Sinkronisasi ini dapat
mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron yang lebih besar
atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara serentak. Lokasi yang
berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena dalam proses sinkronisasi inilah
yang secara klinik menimbulkan manifestasi yang berbeda dari jenis – jenis
serangan epilepsi. Secara teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu :
-
Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik)
kerjanya kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada penderita epilepsi
ternyata mengandung konsentrasi GABA yang rendah di otaknya (lobus
oksipitalis). Hambatan oleh GABA ini dalam bentuk inhibisi potensial post
sinapatik.
-
Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan
sehingga terjadi pelepasan impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini
ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamate di otak. Pada penderita
epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamate pada berbagai tempat di otak.
-
Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga
mempunyai potensi untuk mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk timbulnya kejang sebenarnya ada
tiga kejadian yang saling berkaitan :
-
Perlu adanya “pacemaker cells” yaitu kemampuan
intrinsik dari sel untuk menimbulkan bangkitan.
-
Hilangnya “postsynaptic inhibitory controle” sel
neuron.
-
Perlu sinkronisasi dari “epileptic discharge” yang
timbul.
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang abnormal
bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai Fokus
epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus epileptogenesis dari
sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron sekitarnya untuk bersamaan dan
serentak dalam waktu saat menimbulkan serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi
serebral, trauma otak, stroke, kelainan herediter dan lain – lain) sebagai
fokus epileptogenesis dapat terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan
inhibisi yang kurang) dan akan
menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti hiperkarnia,
hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan lain – lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya ekspolarisasi
impuls dari fokus epileptogenesis, mula – mula ke neuron sekitarnya lalu ke
hemister sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian
untuk bersama – sama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan serangan
kejang. Setelah meluasnya eksitasi selesai dimulailah proses inhibinisi di
korteks serebri, thalamus dan ganglia basalis yang secara intermitan menghambat
discharge epileptiknya, pada gambaran EEG dapat terlihat sebagai perubahan diri
polispike menjadi spike and ware yang makin lama makin lambat dan akhirnya
berhenti. Dulu dianggap berhentinya serangan sebagai akibat terjadinya
exhaustion neuron (karena kehabisan glukosa dan timbulnya asam laktat). Namun
ternyata serangan epilepsi dapat berhenti tanpa terjadinya neuronal exhaustion.
Pada keadaan tertentu (hipoglukemia otak, hipoksia otak,
acidosis metabolik) depolarisasi impuls dapat berjalan terus sehingga
menimbulkan aktivitas serangan yang berkepanjangan disebut status epileptikus.
6)
Manifestasi
Klinis
a. Kejang
Parsial Simplek
Dimulai dengan muatan listrik di bagian otak tertentu dan muatan ini
tetap terbatas di daerah tersebut.
Penderita mengalami sensasi gerakan atau kelainan psikis yang abnormal,
tergantung pada daerah otak yang terkena.
Jika terjadi di bagian otak yang mengendalikan gerakan otot lengan kanan
akan bergoyang dan mengalami sentakan : jika terjadi pada lobus temporalis
anterior sebelah dalam, maka penderita akan mencium bau yang sempat
menyenangkan atau sangat tidak menyenangkan. Pada penderita yang mengalami
kelainan psikis bisa mengalami de ja vu (merasa pernah mengalami keadaan
sekarang di masa yang lalu).
b. Kejang
Jacksonian
Gejalanya dimulai pada satu bagian tubuh tertentu (misalnya tangan atau
kaki) dan kemudian menjalar ke anggota gerak, sejalan dengan penyebaran
aktivitas listrik ditolak.
c. Kejang
Parsial (Psikomotor) kompleks
Dimulai dengan hilangnya
kontak penderita dengan lingkungan sekitarnya selama 1 – 2 menit. Penderita
menjadi goyah, menggerakkan lengan dan tungkainya dengan cara yang aneh dan
tanpa tujuan, mengeluarkan suara – suara yang tak berarti, tidak mampu memahami
apa yang orang lain katakana dan menolak bantuan.
Kebingungan berlangsung selama beberapa menit dan diikuti dengan
penyembuhan total.
d.
Kejang Konvulsif
Biasanya dimulai dengan kelainan listrik pada daerah otak yang terbatas.
Muatan listrik ini segera menyebar ke daerah otak lainnya dan menyebabkan
seluruh daerah mengalami kelainan fungsi.
e.
Epilepsi Primer Generalisata
Ditandai dengan muatan listrik abnormal di daerah otak yang luas, yang
sejak awal menyebabkan penyebaran kelainan fungsi. Pada kedua jenis epilepsi
ini terjadi kejang sebagai reaksi tubuh terhadap muatan yang abnormal. Pada
kejang konvulsif, terjadi penurunan kesadaran sementara kejang otot yang hebat
dan sentakan – sentakan di seluruh tubuh, kepala berpaling ke satu sisi, gigi
dikatupkan kuat – kuat dan hilangnya
pengendalian kandung kemih. Sesudahnya penderita bisa mengalami sakit kepala,
linglung. Sementara dan merasa sangat lelah, biasanya penderita tidak dapat
mengingat apa yang terjadi selama kejang.
f.
Kejang Petit Mal
Dimulai pada masa kanak – kanak, biasanya sebelum usia 5 tahun. Tidak terjadi kejang dan
gejala dramatis lainnya dari grand mal. Penderita hanya menatap, kelopak
makanya bergetar atau otak wajahnya berkedut – kedut selama 10 – 30 detik.
Penderita tidak memberikan respon terhadap sekitarnya tetapi tidak terjatuh,
pingsan maupun menyentak – nyentak.
g.
Status Epiletikus
Merupakan kejang – kejang paling serius, dimana kejang terjadi terus
menerus, tidak berhenti. Konstraksi otot sangat kuat, tidak mampu bernapas
sebagaimana mestinya dan muatan listrik didalam ototannya menyebar luas. Jika
tidak segera ditangani, bisa terjadi kerusakan jantung dan otak yang menetap
dan penderita bisa meninggal.
® Gejala kejang
berdasarkan sisi otak yang terkena :
Sisi otak
yang terkena dan gejalanya :
1.
Lobus frontalis : kedutan pada otak tertentu
2.
Lobus oksipitalis : Halusinasi kilauan cahaya
3.
Lobus parientalis : Mati suri atau kesemutan di bagian tubuh
tertentu
4.
Lobus temporalis : Halunisasi gambaran atau perilaku relaktif
yang kompleks misalnya jalan berputar – putar
5.
Lobus temporalis : Gerakan mengunyah
anterior
6.
Lobus temporior
anterior sebelah : Halunisasi
bau, baik yang menyenangkan dalam maupun yang tidak menyenangkan.
7)
Pemeriksaan
Penunjang
a.
EEG (elektroense falogram)
Merupakan pemeriksaan yang mengukur aktivitas listrik di dalam otak.
Pemeriksaan ini tidak menimbulkan rasa sakit dan tidak memiliki resiko.
Elektroda ditempelkan pada kulit kepala untuk mengukur impuls listrik di dalam
otak. Sebelah terdiagnosis, biasanya dilakukan pemeriksaan lainnya untuk
menentukan penyebab yang bisa diobati.
Pemeriksaan daerah rutin dilakukan untuk :
-
Mengukur kadar gula, kalsium dan natrium dalam darah.
-
Menilai fungsi hati dan ginjal.
-
Menghitung jumlah sel darah putih (jumlah yang
meningkat menimbulkan adanya infeksi)
b.
EKG (Elektrokardiogram)
Dilakukan untuk mengetahui adanya kelainan irama jantung sebagai akibat
dari tidak adekuatnya aliran darah ke otak, yang bisa menyebabkan seseorang
mengalami pingsan.
c.
Pemeriksaan CT Scan dan MRI
Dilakuakn untuk
menilai adanya tumor atau kanker otak, stroke, jaringan parut dan kerusakan
karena cedera kepala.
d.
Fungsi lumbal untuk mengetahui apakah telah terjadi
infeksi otak
8)
Diagnosis Banding
Sinkop, gangguan jantung, gangguna sepintas peredaran darah otak,
hipoglikemia, keracunan, breath holding spells, hysteria, narkolepsi,
pavor nokturnus, paralysis tidur, migren
9)
Penatalaksanaan
Jika penyebabnya adalah tumor, infeksi atau kadar gula maupun natrium
yang abnormal, maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu jika keadaan
tersebut sudah teratasi, maka terjadinya kejangnya sendiri tidak memerlukan pengobatan. Jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan
atau dikendalikan secara total, maka diperlukan obat anti kejang untuk mencegah
kejang lanjutan.
Sekitar sepertiga penderita mengalami kejang kambuhan, sisanya biasa
hanya mengalami kejang kambuhan.
Status epileptikus merupakan keadaan darurat, karena itu obat anti kejang
diberikan dalam dosis tinggi secara intervena.
Obat anti kejang sangat efektif, tapi juga bisa menimbulkan efek samping.
Salah satu diantaranya adalah menimbulkan kantuk, sedangkan pada anak – anak
menyebabkan hiperaktivitas. Dilakukan pemeriksaan darah secara rutin untuk
mengetahui fungsi ginjal, hati dan sel – sel darah.
Obat anti kejang diminum berdasarkan resep dari dokter. Pemakaian obat
lain berlawanan dengan obat anti kejang harus seizin dan sepengetahuan dokter
karena bisa mengubah jumlah obat anti kejang di dalam darah.
Keluarga penderita hendaknya dilatih untuk membantu penderita jika
terjadi serangan epilepsi. Langkah yang penting adalah menjaga agar penderita
tidak terjatuh, melonggarkan pakaiannya (terutama di daerah leher) dan memasang
bantal di bawah kepala penderita.
Jika
penderita tidak sadarkan diri, sebaiknya posisinya dibaringkan agar lebih mudah
bernafas dan tidak boleh ditinggalkan sendirian sampai benar – benar sadar dan
bisa bergerak secara normal.
Jika ditemukan kelainan otak yang terbatas, biasanya dilakukan pembedahan
untuk mengangkat serat – serat saraf yang menghubungkan kedua sel otak (korpus
kalosum).
Pembedahan dilakukan jika obat tidak berhasil mengobati epilepsi atau
efek sampingnya tidak dapat ditoleransi.
*
Obat – obatan yang digunakan untuk mengobati
kejang
No.
|
Jenis Epilepsi
|
Efek samping yang
mungkin terjadi
|
Karboma zepin
Etoksimid
Gobapentin
Lomotrigin
Fenobarbitol
Fenitoin
Primidan
Valpioat
|
Generalisata, parsial
Fotit mal
Parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Generalisata, parsial
Kejang infantil,
Potitmal
|
Jumlah sel darah putih dan sel
darah merah berkurang
Jumlah sel darah putih dan sel
darah merah berkurang
Tenang
Ruam kulit
Tenang
Pembengkakan gusi
Tenang
Penambahan berat badan
Rambut rontok
|
Penatalaksanaan status epileptikus
a)
Lima
menit pertama
Ø
Pastikan diagnosis dengan observasi aktivitas
serangan atau satu serangan berikutnya.
Ø
Beri oksigen lewat kanul nasal atau masker, atur
posisi kepala dan jalan nafas, intubasi bila perlu bantuan bentilasi.
Ø
Tanda-tanda vital dan EKG, koreksi bila ada
kelaianan.
Ø
Pasang jalur intravena dengan NaC10,9%, periksa
gula darah, kimia darah, hematology dan kadar OAE (bila ada fasilitas dan
biaya).
b)
Menit ke-6 hingga ke-9
Jika hipoglikemia/gula darah tidak diperiksa, berikan 50 ml
glukosa 50% bolas intravena (pada anak: 2 ml/kgBB/glukosa 25%) disertai 100 mg
tiamin intravena.
c)
Menit ke-10 hingga ke-20
Pada dewasa: berikan 0,2 mg/kgBB diazepam dengan kecepatan 5
mg/menit sampai maksimum 20 mg. Jika serangan masih ada setelah 5 menit, dapat
diulangi lagi. Diazepam harus diikuti dengan dosis rumat fenitoin.
d)
Menit ke 20 hingga ke-60
Berikan fenitoin 20 mg/kgBB dengan kecepatan <50 mg/menit
pada dewasa dan 1 mg/kbBB/menit pada anak; monitor EKG dan tekanan darah selama
pemberian.
e)
Menit setelah 60 menit
Jika status masih berlanjut setelah fenitoin 20 mg/kg maka
berikan fenitoin tambahan 5 mg/kg sampai maksimum 30 mg/kg. Jika status
menetap, berikan 20 mg/kg fenobarbital intravena dengan kecepatan 60 mg/menit.
Bila apne, berikan bantuan ventilasi (intubasi). Jika status menetap, anestasia
umum dengan pentobarbiatal, midazolam atau propofal.
Perawatan pasien yang mengalami kejang :
a)
Berikan privasi dan perlindungan pada pasien dari
penonton yang ingin tahu (pasien yang mempunyai aura/penanda ancaman kejang
memerlukan waktu untuk mengamankan, mencari
tempat yang aman dan pribadi
b)
Pasien di lantai
jika memungkinkan lindungi kepala dengan bantalan untuk mencegah cedera dari membentur permukaan yang
keras.
c)
Lepaskan pakaian yang ketat
d)
Singkirkan semua perabot yang dapat menciderai pasien
selama kejang.
e)
Jika pasien di tempat
tidur singkirkan bantal dan tinggikan pagar tempat tidur.
f)
Jika aura mendahului kejang, masukkan spatel lidah yang
diberi bantalan diantara gigi, untuk mengurangi lidah atau pipi tergigit.
g)
Jangan berusaha membuka rahang yang terkatup pada
keadaan spasme untuk memasukkan sesuatu, gigi yang patah cidera pada bibir dan
lidah dapat terjadi karena tindakan ini.
h)
Tidak ada upaya dibuat untuk merestrein pasien selama
kejang karena kontraksi otot kuat dan restrenin dapat menimbulkan cidera
i)
Jika mungkin tempatkan pasien miring pada salah satu
sisi dengan kepala fleksi kedepan yang memungkinkan lidah jatuh dan memudahkan
pengeluaran salifa dan mucus. Jika disediakan pengisap gunakan jika perlu untuk
membersihkan secret
j)
Setelah kejang: pertahankan pasien pada salah satu sisi
untuk mencegah aspirasi, yakinkan bahwa jalan nafas paten. Biasanya terdapat
periode ekonfusi setelah kejang grand mal. Periode apnoe pendek dapat terjadi
selama atau secara tiba-tiba setelah kejang. Pasien pada saat bangun harus
diorientasikan terhadap lingkungan
10)
Prognosis
Pasien epilepsi yang berobat
teratur, 1/3 akan terbebas serangan paling sedikit
2 tahun dan bila lebih
dari 5 tahun sesudah serangan terakhir obat dihentikan, pasien tidak mengalami
sawan lagi, dikatkan telah menglami remisi. Diperkirakan 30 % pasien tidak akan
menglami remisi meskipun minum obat teratur.
Sesudah remisi, kemungkinan munculnya serangan ulang paling sering
didapat pada sawan tonik-klonik dan sawan paarsial kompleks. Demikian pula usia
muda lebih mudah menglami relaps sesudah remisi.
Patofisiologi b/d Penyimpangan KDM
Etiologi
Idiopatik Stomatik/sekunder(cedera
kepala, hipoglikemia, gangguan
metabolisme dan nutrisi,
alkohol,
ensefalitis,anoxia)
Gangguan pada otak, lesi pada mesenflon,
thalamus
korteks
selebri
Pusat koordinasi perna
pasan pd batang otak
terganggu
Ketidakstabilan membran sel saraf
sehingga sel lebih
Spasme otot pernapasan mudah
diaktifkan
Neuron
hipersensitif dan ambons yang menurun
Hipoksia
sistemik mudah
terangsang polarisasi yang abnormal
asidosis
Ketidakseimbangan
ion yang mengubah lingkungan
tidak adekuat suplay O2,
nutrisi untuk paru
Sesak
napas
kimia
neuron
|
PA
Pelepasan Asetilkolin
Asetilkain
merembes dari permukaan otak
Menurunkan
potensial membran sel Anggapan
bahwa
epilepsi
adalah
penyakit
Terlepasnya
muatan listik ber> keturunan
|
Bahan
pmbicaraan
orang
Penurunan
kesadaran Perubahan status
kesehatan
untuk
mempertahankan
tubuh
dalam posisi Stigma
tegak Koping
individu inefektif
|
|||
|
tentang
penyakit
|
A.
KONSEP
DASAR ASKEP
I. Pengkajian
Data fokus yang perlu
dikaji
a.
Riwayat
Kesehatan
1) Keluhan utama: keluhan yang dirasakan pasien saat
dilakukan pengkajian
2) Riwayat kesehatan sekarang: Riwayat penyakit yang
diderita pasien saat masuk RS (apa yang terjadi selama serangan )
3) Riwayat kesehatan yang lalu: sejak kapan serangan
seperti ini terjadi, pada usia berapa serangan pertama terjadi, frekuensi
serangan, adakah faktor presipitasi seperti demam, kurang tidur emosi, riwayat
sakit kepala berat, pernah menderita cidera otak, operasi atau makan obat-obat
tertentu/alkoholik)
4) Riwayat kesehatan keluarga: adakah riwayat penyakit
yang sama diderita oleh anggota keluarga yang lain atau riwayat penyakit lain
baik bersifat genetik maupun tidak
5) Riwayat sebelum serangan: adakah gangguan tingkah
laku, emosi apakah disertai aktifitas atonomik yaitu berkeringat, jantung berdebar,
adakah aura yang mendahului serangan baik sensori, auditorik, olfaktorik
b.
Pemeriksaan
Fisik
1) Keadaan umum
2) Pemeriksaan Persistem
a) Sistem Persepsi dan Sensori
Apakah pasien menggigit lidah,
mulut berbuih, sakit kepala, otot-otot sakit, adakah halusinasi dan ilusi, yang
disertai vertigo, bibir dan muka berubah warna, mata dan kepala menyimpang pada
satu posisi, berapa lama gerakan tersebut, apakah lokasi atau sifatnya berubah
pada satu posisi/keduanya
b) Sistem Persyarafan
Ø
Selama
serangan: Penurunan kesadaran/pingsan? Kehilangan kesadaran / lena? Disertai
komponen motorik seperti kejang tonik, klonik,
mioklonik, atonik, berapa lama gerakan tersebut? Apakah pasien jatuh kelantai
Ø
Proses
Serangan: Apakah pasien letarsi, bingung, sakit kepala, gangguan bicara, hemiplegi
sementara, ingatkah pasien apa yang terjadi sebelum selama dan sesudah
serangan, adakah perubahan tingkat kesadaran, evaluasi kemungkinan terjadi
cidera selama kejang (memer, luka gores)
c) Sistem Pernafasan: apakah terjadi perubahan
pernafasan (nafas yang dalam)
d) Sistem Kardiovaskuler: apakah terjadi perubahan
denyut jantung
e) Sistem Gastrointestinal: apakah terjadi
inkontinensia feses, nausea
f) Sistem Integumen: adakah memar, luka gores
g) Sistem Reproduksi
h) Sistem
Perkemihan: adakah inkontinensia urin
c.
Pola Fungsi
Kesehatan
1) Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan
Pemahaman pasien dan keluarga
mengenai program pengobatan pasien, keamanan lingkungan sekitar
2) Pola Aktivitas dan Latihan
Pemahaman klien tentang
aktivitas yang aman untuk pasien (minimal resiko cidera pada saat serangan)
3) Pola Nutrisi Metabolisme
Pasca serangan biasanya pasien
mengalami nansea
4) Pola Eliminasi
Saat serangan dapat terjadi
inkontinensia urin dan atau feses
5) Pola Tidur dan Istirahat
Salah satu faktor presipitasi
adalah kurangnya istirahat/tidur
6) Pola kognitif dan Perseptual
Adakah gangguan orientasi,
pasien merasa dirinya berubah
7) Persepsi diri atau konsep diri
Pentingnya pemahaman dengan
berobat teratur dapat terbebas dari sawan
8) Pola toleransi dan koping stress
Adakah stress dan
gangguan emosi
9) Pola sexual reproduksi
10) Pola hubungan dan peran
11) Pola nilai dan kenyakinan
II. Diagnosa Keperawatan
1.
Resiko cedera b/d kelemahan keseimbangan, keterbatasan kognitik/perubahan kesadaran.
2.
Pola napas tidak efektif b/d kerusakan neuromukuler,
obstruasi trakeobronkial.
3.
Gangguan harga diri b/d stisma.
4.
Kurang pengetahuan b/d kurang kekurangan informasi.
III. Intervensi Keperawatan
Dx. I. : Resiko cedera
b/d kelemahan kesulitan keseimbangan keterbatasan kognitif/perubahan kesadaran.
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan kita dapat mengungkapkan pemahaman faktor dan
menunjang kemungkinan trauma.
Hasil : Perubahan gaya
hidup untuk mengurangi faktor resiko dan melindungi diri dari cedera.
Intervensi :
1)
Gali bersama – sama pasien brbagai stimulus yang dapat
menjadi pencetus kejang.
R/ : Alkohol berbagai obat dan
stimulasi lain (kurang tidur, lampu yang terlalu terang, menonton TV yang
terlalu lama) dapat meningkatkan aktivitas otak yang selanjutnya meningkatkan
resiko kesadarannnya kejang.
2)
Pertahankan bantalan lunak pada penghalang tempat tidur
yang terpasang dengan posisi tempat tidur yang rendah.
R/ : Mengurangi trauma saat
kejang terjadi selama pasien berada di tempat tidur.
3)
Anjurkan pasien untuk merokok selama dapat diawasi.
R/ : Mungkin dapat menyebabkan
robekan jika rokok tersebut terjatuh. Secara tidak disengaja selama fase aura
(aktivitas kejang yang terjadi).
4)
Evaluasi ketahanan untuk berikan pandangan pada kepala.
R/ : Penggunaan penutup kepala
(semacam helm) dapat memberikan pandangan tambahan terhadap seseorang yang
mengalami kejang terus menerus/kejang berat.
5)
Tanggalah bersama klien dalam waktu beberapa lama
selama/setelah kejang.
R/ : Meningkatkan keamanan
pasien.
6)
Kolaborisasi.
Berikan obat sesuai indikasi (obat anti epilepsi) meliputi karboma zepam,
klorozepam.
Dx. II. : Pola napas tidak
efektif b/d kerusakan neuromuskuler, obstruksi frakeabrokal.
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan klien dapat menunjukkan pola napas yang efektif.
Hasil : Klien dapat
mempertahankan pola pernapasan efektif dengan jalan napas paten.
Intervensi :
1)
Letakkan pasien pada posisi miring, permukaan datar,
miringkan kepala selama serangan kejang.
R/ : Meningkatkan darah
(drainase) secret, mencegah udara jatuh dan menyambut jalan napas.
2)
Tanggalkan pakaian pada daerah leher /dada dan abdomen.
R/ : Untuk memfasilitasi usaha
bernapas/ekspresi dada.
3)
Masukkan spodel lidah/jalan napas buatan atau gulungan
benda lunak sesuai indikasi.
R/ : Jika memasukkannya di
awal untuk membuka rahang, alat ini dapat mencegah tergigitnya lidah dan
memfasilitasi saat melakukan pengisapan lendir/memberi sokongan terhadap
pernapasan jika diperlukan.
4)
Lakukan pengisapan sesuai indikasi.
R/ : Menurunkan resiko
aspirusi/astiksia.
5)
Kolaborasi : Berikan tambahan O2/ventilasi
manual sesuai kebutuhan pada fase posktal.
R/ : Dapat menurunkan hipoksia
serebral sebagai akibat dari sirkulasi yang menurun/O2 sekunder
terhadap spasme vesikuler selama serangan kejang.
Dx. III. : Gangguan harga
diri b/d stiqma.
Tujuan : Setelah dilakukan
tindakan keperawatan diharapkan klien dapat mengidentifikasi perasaan dan
metode untuk koping dan persepsi negatif pada diri sendiri.
Hasil : - Pengungkapan
tentang perubahan gaya hidup.
-
Takut penolakan/perasaan negatif tentang tubuh.
Intervensi :
1)
Diskusikan perasaan pasien mengenai diagnostik.
Persepsi diri terhadap penanganan yang dilakukannya, anjurkan untuk
mengungkapkan/ mengekspresikan wajahnya.
R/ : Reaksi yang ada
bervariasi diantara individu dan pengetahuan/pengalaman awal dengan keadaan penyakitnya.
2)
Identifikasi/antisipasi kemungkinan reaksi organ pada
keadaan penyakit, anjurkan pasien untuk tidak merahasiakan masalahnya.
R/ : Memberikan kesempatan
untuk berespon pada proses pemecahan masalah dengan memberikan tindakan kontrol
terhadap situasi yang dihadapi.
3)
Tentukan sikap/kecakapan orang terdekat. Bantu ia
menyadari perasaan tersebut adalah normal sedangkan merasa bersalah.
R/ : Pandangan negatif dari
orang terdekat dapat berpengaruh terhadap perasaan kemampuan harga diri pasien
dengan mengurangi dengan terima dari orang terdekat tersebut yang mempunyai
resiko membatasi penanganan yang optimal.
4)
Tekankan pentingnya staf/orang terdekat untuk tetap
dalam keadaan tenang selama kejang.
R/ : Ansietas dari pemberi
asuhan adalah menjalar dan bila sampai pada pasien dapat meningkatkan persepsi negatif
terhadap keadaan lingkungan/diri sendiri.
5)
Kolaborasi
Rujuk pasien atau orang terdekat pada kelompok penyokong, yayasan epilepsi dsb.
R/ : Memberikan kesempatan
untuk mendapatkan invervasi dukungan dan ide – ide untuk mengatasi masalah dari
orang lain yang telah mempunyai pengalaman yang sama.
Dx. IV. : Kurang pengetahuan
b/d kurangnya informasi.
Intervensi :
1)
Jelasakan kembali mengenai/prosnesis penyakit dan
perlunya pengobatan/penanganan dalam jangka waktu yang lama sesuai indikasi.
R/ : Memberikan kesempatan
untuk mengklarifikasi kesalahan persepsi dan keadaan penyakit yang ada sebagai
sesuatu yang dapat ditangani dalam cara hidup yang normal.
2)
Tinjau kembali obat – obat yang didapat penting sekali
memakan obat sesuai petunjuk dengan tidak menghentikan pengobatan tanpa
pengawasan dokter, termasuk petunjuk untuk pengurangan dosis.
R/ : Tak adanya pemahaman
terhadap obat – obat yang dapat merupakan penyebab dari kejang yang terus
menerus tanpa henti.
3)
Berikan petunjuk yang jelas pada pasien untuk minum
obat bersamaan dengan waktu makan jika memungkinkan.
R/ : Dapat menurunkan iritasi
lambung, mual/muntah.
4)
Berikan informasi tentang interaksi obat yang potensial
dan pentingnya untuk memberi tahu pemberi perawatan yang lain dari pemberian
obat tersebut.
R/ : Pengetahuan mengenai
penggunaan obat anti konuvisan menemukan resiko obat yang diresepkan yang dapat
berinteraksi selanjutnya mengubah ambang slekang/memilki efek berapeutik.
5)
Bicarakan kembali kemungkinan efek dari perubahan
hormonal.
R/ : Gangguan kadar hormonal yang terjadi selama
menstruasi dan kehamilan dapat meningkatkan resiko kejang.
6)
Tinjau kembali pentingnya keberhasilan mulut dan
perawatan gigi yang teratur.
R/ : Menurunkan resiko infeksi mulut dan
hyperplasia dari gusi.
IV. Implementasi
Sesuai dengan intervensi.
V. Evaluasi
Sesuai dengan tujuan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Epilepsi merupakan kumpulan gejala dan tanda – tanda
klinis yang muncul disebabkan gangguan fungsi otak secara intermiten yang
terjadi akibat lepas muatan listrik abnormal atau berlebihan dari neuron –
neuron secara paroksismal dengan berbagai macam etiologi. Dimana sekitar 70 %
kasus epilepsi tidak diketahui penyebabnya yang dikelompokkan sebagai epilepsi
simptomatik misalnya karena trauma kepala, infeksi, congenital, gangguan
peredaran darah otak.
Bila salah satu orang tua epilepsi maka kemungkinan 4
% anaknya akan mengidap epilepsi sedangkan bila kedua orangtuanya epilepsi maka
kemungkinan anaknya epilepsi menjadi 20 % - 30 %.
Pengobatan yang diberikan apabila penyebabnya adalah
tumor atau infeksi maka keadaan tersebut harus diobati terlebih dahulu dimana
jika keadaan tersebut sudah teratasi maka kejangnya sendiri tidak memerlukan
pengobatan, jika penyebabnya tidak dapat disembuhkan maka diperlukan obat anti
kejang untuk mencegah terjadinya kejang lanjutan.
B.
Saran
1. Bagi
pasien Epilepsi
*
Bagi penderita epilepsi obat anti kejang harus
diminum secara teratur berdasarkan resep dari dokter serta harus kontrol ke
pelayanan kesehatan secara teratur.
*
Bagi keluarga penderita hendaknya dilatih untuk
membantu penderita jika terjadi serangan epilepsi dimana langkah penting adalah
menjaga agar penderita tidak terjatuh, melonggarkan pakaian dan memasang bantal
di bawah kepala penderita.
2. Bagi
perawat
*
Harus mempelajari sehingga dapat memahami
tentang penyakit epilepsi.
*
Mampu mengenali tanda dan gejala dari penyakit
epilepsi sehingga dapat menentukan masalah keperawatan yang sesuai dengan
keluhan pasien dan menentukan rencana serta tindakan yang tepat pada pasien
epilepsi.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth, 2001. KEPERAWATAN
MEDIKAL BEDAH EDISI 8 VOLUME 3, EGC; Jakarta.
Doenges E. Marylin, 2000. RENCANA
ASUHAN KEPERAWATAN EDISI 3, EGC: Jakarta.
Price A. Sylvia, 2005. PATOFISIOLOGI
KONSEP KLINIS PROSES – PROSES PENYAKIT EDISI 6. EGC; Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar