BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
Kematian jantung mendadak (SCD)
adalah kematian akibat kehilangan fungsi jantung. Korban mungkin atau mungkin
tidak memiliki diagnosa penyakit jantung. Waktu dan cara kematian yang tak
terduga. Hal ini terjadi dalam beberapa menit setelah gejala muncul. Alasan
yang mendasari paling umum untuk pasien mati mendadak dari serangan jantung
adalah penyakit jantung koroner (buildups lemak dalam arteri yang memasok darah
ke otot jantung). Sehingga pembuluh darah sempit, otot jantung bisa berhenti
karena kekurangan suplai darah.
Dari 90
% korban dewasa sudden cardiac death (SCD), dua atau lebih dari korban
disebabkan karena arteri koroner utama menyempit oleh lemak. Sedangkan
dua-pertiga dari korban ditemukan bekas luka dari serangan jantung sebelumnya.
Ketika kematian mendadak terjadi pada orang dewasa muda, kelainan jantung
lainnya merupakan penyebab yang lebih mungkin. Adrenalin dilepaskan selama
aktivitas fisik atau olahraga yang sering menjadi pemicu munculnya SCD. Dalam kondisi
tertentu, berbagai obat jantung dan obat lainnya, serta penyalahgunaan obat
terlarang dapat menyebabkan irama jantung abnormal yang juga dapat menyebabkan
kematian SDC.Serangan tiba-tiba jantung (SCA) adalah suatu kondisi dimana
jantung tiba-tiba dan tak terduga berhenti berdetak. Ketika ini terjadi,
darah berhenti mengalir ke otak dan organ vital lainnya. SCA biasanya
menyebabkan kematian jika tidak dirawat dalam beberapa menit.SCA tidak sama
dengan serangan jantung . Serangan jantung terjadi ketika darah
mengalir ke bagian dari otot jantung tersumbat. Selama serangan jantung,
jantung biasanya tidak tiba-tiba berhenti berdetak. SCA, bagaimanapun
mungkin dapat terjadi setelah atau selama pemulihan dari serangan jantung.Orang
yang memiliki penyakit jantung akan meningkatkan risiko untuk SCA. Namun,
kebanyakan SCA terjadi pada orang yang tampak sehat dan tidak memiliki penyakit
jantung atau faktor risiko lain untuk SCA. Seorang yang memiliki riwayat
keluarga dengan penyakit jantung atau ada anggota keluarga yang pernah
meninggal mendadak perlu mewaspadai terjadinya cardiac arrest. Upaya pencegahan
lain adalah dengan menjalankan gaya hidup sehat dan rutin berolahraga.
1.2.
TUJUAN
1.2.1.
Tujuan Umum
Untuk memenuhi nilai tugas keperawatan Gawat
Darurat
1.2.2.
Tujuan Khusus
Untuk berbagi pengetahuan dengan sesama,
khususnya mahasiswa keperawatan, dan
pembaca pada umumnya
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1.
KONSEP
DASAR MEDIS
2.1.1. PENGERTIAN
1.
Kematian
jantung mendadak merupakan kematian yang tidak terduga atau proses kematian yang
terjadi cepat, yaitu dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala. Artinya,
kematian terjadi akibat timbulnya gangguan irama jantung yang menyebabkan
kegagalan sirkulasi darah.
2.
Jantung
tiba-tiba mati ( Sudden Cardiac Arrest)
adalah kematian yang tiba-tiba akibat hilangnya fungsi hati (perhentian
jantung).
2.1.2. ETIOLOGI
1. Faktor-faktor Risiko
2. Usia
3. Jenis kelamin
4. Merokok
5. Penyakit jantung yang mendasari
6. Tidak ada penyakit jatung yang diketahui
7. Penyakit arteri koronaria (CAD)
8. Hipertrofi septum yang asimetrik
(ASH)
Pasien ASH mempunyai peningkatan
insiden aritmia atrium dan ventrikel yang bisa menyebabkan kematian listrik
atau hemodinamik (peningkatan obstruksi aliran keluar). Riwayat VT atau bahkan
denyut kelompok ventrikel akan meningkatkan risiko SCD.
1)
Faktor
pencetus
a.
Aktivitas
Hubungan
antara SCD dan gerak badan masih tidak jelas. Analisis 59 pasien yang meninggal
mendadak memperlihatkan bahwa setengah dari kejadian ini timbul selama atau
segera setelah gerak badan. Tampak bahwa gerak badan bisa mencetuskan SCD, terutama
jika aktivitas berlebih dan selama tidur SCD jarang terjadi.
b.
Iskemia
Pasien
dengan riwayat MI dan Iskemia pada suatu lokasi yang jauh (iskemia dalam
distribusi arteri koronaria noninfark) mempunyai insiden aritmia ventrikel yang
lebih tinggi dibandingkan dengan pasien iskemia yang terbatas pada zona infark.
Daerah iskemia yang aktif disertai dengan tidak stabilnya listrik dan pasien
iskemia pada suatu jarak mempunyai kemungkinan lebih banyak daerah beresiko
dibandingkan pasien tanpa iskemia pada suatu jarak.
c.
Spasme
arteri koronaria
Spasme
arteri koronaria (terutama arteri koronaria destra) dapat menimbulkan
brakikardia sinus, blok AV yang lanjut atau AF. Semua aritmia dapat menyokong
henti jantung. Tampak bahwa lebih besar derajat peningkatan segmen S-T yang
menyertai spasme arteri koronaria, lebih besar resiko SCD. Tetapi insiden SDC
pada pasien spasme arteri koronaria berhubungn dengan derajat CAD obsruktif
yang tetap. Yaitu pasien CAD multipembuluh darah yang kritis ditambah spasme
arteri koronaria lebih mungkin mengalami henti jantung dibandingkan pasien
spase arteri koronaria tanpa obstuksi koronaria yang tetap.
2.1.3. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi
cardiac arrest tergantung dari etiologi yang mendasarinya. Namun, umumnya
mekanisme terjadinya kematian adalah sama. Sebagai akibat dari henti jantung,
peredaran darah akan berhenti. Berhentinya peredaran darah mencegah aliran
oksigen untuk semua organ tubuh. Organ-organ tubuh akan mulai berhenti
berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen, termasuk otak. Hypoxia cerebral
atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan kesadaran dan
berhenti bernapas normal. Kerusakan otak mungkin terjadi jika cardiac arrest
tidak ditangani dalam 5 menit dan selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit
(Sudden cardiac death).
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang mendasari terjadinya cardiac arrest.
Berikut akan dibahas bagaimana patofisiologi dari masing-masing etiologi yang mendasari terjadinya cardiac arrest.
2.1.4. MANIFESTASI KLINIS
1.
Organ-organ
tubuh akan mulai berhenti berfungsi akibat tidak adanya suplai oksigen,
termasuk otak.
2.
Hypoxia
cerebral atau ketiadaan oksigen ke otak, menyebabkan korban kehilangan
kesadaran (collapse).
3.
Kerusakan
otak mungkin terjadi jika cardiac arrest tidak ditangani dalam 5 menit,
selanjutnya akan terjadi kematian dalam 10 menit.
4.
Napas
dangkal dan cepat bahkan bisa terjadi apnea (tidak bernafas).
5.
Tekanan
darah sangat rendah (hipotensi) dengan tidak ada denyut nadi yang dapat terasa
pada arteri.
6.
Tidak
ada denyut jantung.
2.1.5. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1)
Elektrokardiogram
EKG
mengukur waktu dan durasi dari tiap fase listrik jantung dan dapat
menggambarkan gangguan pada irama jantung. Karena cedera otot jantung tidak
melakukan impuls listrik normal, EKG bisa menunjukkan bahwa serangan jantung
telah terjadi. ECG dapat mendeteksi pola listrik abnormal, seperti interval QT
berkepanjangan, yang meningkatkan risiko kematian mendadak.
2)
Tes darah
a.
Pemeriksaan
Enzim Jantung
Enzim-enzim
jantung tertentu akan masuk ke dalam darah jika jantung terkena serangan
jantung. Karena serangan jantung dapat memicu sudden cardiac arrest. Pengujian
sampel darah untuk mengetahui enzim-enzim ini sangat penting apakah benar-benar
terjadi serangan jantung.
b.
Elektrolit Jantung
Melalui
sampel darah, kita juga dapat mengetahui elektrolit-elektrolit yang ada pada
jantung, di antaranya kalium, kalsium, magnesium. Elektrolit adalah mineral
dalam darah kita dan cairan tubuh yang membantu menghasilkan impuls listrik.
Ketidak seimbangan pada elektrolit dapat memicu terjadinya aritmia dan sudden
cardiac arrest.
c.
Test
Obat
Pemeriksaan
darah untuk bukti obat yang memiliki potensi untuk menginduksi aritmia,
termasuk resep tertentu dan obat-obatan tersebut merupakan obat-obatan
terlarang.
d.
Test
Hormon
Pengujian
untuk hipertiroidisme dapat menunjukkan kondisi ini sebagai pemicu cardiac
arrest.
3)
Imaging tes
a.
Pemeriksaan
Foto Torak
Foto thorax menggambarkan bentuk dan
ukuran dada serta pembuluh darah. Hal ini juga dapat menunjukkan apakah
seseorang terkena gagal jantung.
b.
Pemeriksaan nuklir
Biasanya dilakukan bersama dengan
tes stres, membantu mengidentifikasi masalah aliran darah ke jantung.
Radioaktif yang dalam jumlah yang kecil, seperti thallium disuntikkan ke dalam
aliran darah. Dengan kamera khusus dapat mendeteksi bahan radioaktif mengalir
melalui jantung dan paru-paru.
c.
Ekokardiogram
Tes ini menggunakan gelombang suara
untuk menghasilkan gambaran jantung. Echocardiogram dapat membantu
mengidentifikasi apakah daerah jantung telah rusak oleh cardiac arrest
dan tidak memompa secara normal atau pada kapasitas puncak (fraksi ejeksi),
atau apakah ada kelainan katup.
4)
Electrical system
(electrophysiological) testing and mapping
Tes
ini membantu menemukan tempat aritmia dimulai. Selama tes, kemudian kateter
dihubungkan denga electrode yang menjulur melalui pembuluh darah ke berbagai
tempat di area jantung. Setelah di tempat, elektroda dapat memetakan penyebaran
impuls listrik melalui jantung pasien. Selain itu, ahli jantung dapat
menggunakan elektroda untuk merangsang jantung pasien untuk mengalahkan
penyebab yang mungkin memicu - atau menghentikan – aritmia. Hal ini
memungkinkan dokter untuk mengamati lokasi aritmia.
5)
Ejection fraction testing
Dokter dapat menentukan kapasitas
pompa jantung dengan mengukur apa yang dinamakan fraksi ejeksi. Hal ini mengacu
pada persentase darah yang dipompa keluar dari ventrikel setiap detak
jantung. Sebuah fraksi ejeksi normal adalah 55 sampai 70 persen. Fraksi ejeksi
kurang dari 40 persen meningkatkan risiko sudden cardiac arrest. Dokter Anda
dapat mengukur fraksi ejeksi dalam beberapa cara, seperti dengan ekokardiogram,
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dari jantung Anda, pengobatan nuklir scan dari
jantung Anda atau computerized tomography (CT) scan jantung.
6)
Coronary catheterization (angiogram)
Pengujian
ini dapat menunjukkan jika arteri koroner Anda terjadi penyempitan atau
penyumbatan. Seiring dengan fraksi ejeksi, jumlah pembuluh darah yang tersumbat
merupakan prediktor penting sudden cardiac arrest. Selama prosedur, pewarna
cair disuntikkan ke dalam arteri hati Anda melalui tabung panjang dan tipis
(kateter) yang melalui arteri, biasanya melalui kaki, untuk arteri di dalam
jantung. Sebagai pewarna mengisi arteri, arteri menjadi terlihat pada X-ray dan
rekaman video, menunjukkan daerah penyumbatan. Selain itu, sementara kateter
diposisikan, dokter mungkin mengobati penyumbatan dengan melakukan angioplasti
dan memasukkan stent untuk menahan arteri terbuka.
2.1.6. PENATALAKSANAAN
Pasien yang mendadak kolaps ditangani melalui 5 tahap,
yaitu:
1. Respons Awal
Respons
awal akan memastikan apakah suatu kolaps mendadak benar-benar disebabkan oleh
henti jantung. Observasi gerakan respirasi, warna kulit, dan ada tidaknya
denyut nadi pada pembuluh darah karotis atau arteri femoralis dapat menentukan
dengan segera apakah telah terjadi serangan henti jantung yang dapat membawa
kematian. Gerakan respirasi agonal dapat menetap dalam waktu yang singkat
setelah henti jantung, tetapi yang penting untuk diobservasi adalah stridor
yang berat dengan nadi persisten sebagai petunjuk adanya aspirasi benda asing
atau makanan. Jika keadaan ini dicurigai, maneuver Heimlich yang cepat dapat
mengeluarkan benda yang menyumbat. Pukulan di daerah prekordial yang dilakukan
secara kuat dengan tangan terkepal erat pada sambungan antara bagian sternum
sepertiga tengah dan sepertiga bawah kadang-kadang dapat memulihkan takikardia
atau fibrilasi ventrikel, tetapi tindakan ini juga dikhawatirkan dapat mengubah
takikardia ventrikel menjadi fibrilasi ventrikel. Karena itu, telah dianjurkan
untuk menggunakan pukulan prekordial hanya pada pasien yang dimonitor;
rekomendasi ini masih controversial.Kompresi dada dilakukan berdasarkan asumsi
bahwa kompresi jantung memungkinkan jantung untuk mempertahankan fungsi
pemompaan dengan pengisian serta pengosongan rongga-rongganya secara berurutan
sementara katup-katup jantung yang kompeten mempertahankan aliran darah ke
depan. Telapak yang satu diletakkan pada sternum bagian bawah, sementara
telapak tangan yang lainnya berada pada permukaan dorsum tangan yang di sebelah
bawah. Sternum kemudian ditekan dengan kedua lengan penolong tetap berada dalam
keadaan lurus. Penekanan ini dilakukan dengan kecepatan kurang lebih 80 kali
per menit. Penekanan dilakukan dengan kekuatan yang cukup untuk menghasilkan
depresi sternum sebesar 3 hingga 5 cm, dan relaksasi dilakukan secara
tiba-tiba. Teknik RKP konvensional ini sekarang sedang dibandingkan dengan
teknik baru yang didasarkan pada ventilasi dan kompresi simultan. Sementara
aliran arteri karotis yang dapat diukur dapat dicapai dengan RKP konvensional,
data eksperimental dan pemikiran teoritis mendukung bahwa aliran dapat
dioptimalkan melaui kerja pompa yang dihasilkan oleh perubahan tekanan pada
seluruh rongga torasikus, seperti yang dicapai dengan kompresi dan ventilasi simultan.
Namun, tidak jelas apakah teknik ini menyebabkan impedansi aliran darah koroner
dan apakah peningkatan aliran karotis menghasilkan peningkatan yang ekuivalen
pada perfusi serebral.
Langkah-langkah
penting dalam resusitasi kardiopulmone
1.
Pastikan
bahwa saluran nafas korban dalam keadaan lapang/ terbuka.
2.
Mulailah
resusitasi respirasi dengan segera.
3.
Raba
denyut nadi karotis di dalam lekukan sepanjang jakun (Adam’s apple) atau
kartilago tiroid.
4.
Jika
denyut nadi tidak teraba, mulai lakukan pijat jantung. Lakukan penekanan
sebanyak 60 kali per menit dengan satu kali penghembusan udara untuk
mengembangkan paru setelah setiap 5 kali penekanan dada. (Isselbacher: 228)
2. Tindakan Dukungan Kehidupan Lanjut (Advance Life Support)
Tindakan ini bertujuan untuk
menghasilkan respirasi yang adekuat, mengendalikan aritmia jantung,
menyetabilkan status hemodinamika (tekanan darah serta curah jantung) dan
memulihkan perfusi organ. Aktivitas yang dilakukan untuk mencapai tujuan ini
mencakup:
a.
Tindakan
intubasi dengan endotracheal tube
b.
Defibrilasi/
kardioversi, dan/atau pemasangan pacu jantung
c.
Pemasangan
lini infuse.
Henti jantung yang terjadi sekunder akibat bradiaritmia atau
asistol ditangani dengan cara yang berbeda. Setelah diketahui jenis aritmianya,
terapi syok dari luar tidak memiliki peranan. Pasien harus segera diintubasi,
resusitasi kardiopulmoner diteruskan dan harus diupayakan untuk mengendalikan
keadaan hipoksemia serta asidosis. Epinefrin dan atau atropine diberikan
intravena atau dengan penyuntikan intrakardial. Pemasangan alat pacing
eksternal kini sudah dapat dilakukan untuk mencoba menghasilkan irama jantung
yang teratur, tetapi prognosis pasien pada bentuk henti jantung ini umumnya
sangat buruk. Satu pengecualian adalah henti jantung asistolik atau bradiaritmia
sekunder terhadap obstruksi jalan napas. Bentuk henti jantung ini dapat
memberikan respons cepat untuk pengambilan benda asing dengan maneuver Heimlich
atau, pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Dengan intubasi dan penyedotan
sekresi yang menyumbat di jalan napas.
3. Perawatan Pasca Resusitasi
Fase
penatalaksanaan ini ditentukan oleh situasi klinis saat terjadinya henti
jantung. Fibrilasi ventrikel primer pada infark miokard akut umumnya sangat
responsive terhadap teknik-teknik dukungan kehidupan (life support) dan mudah dikendalikan setelah kejadian permulaan.
Pemberian infuse lidokain dipertahankan dengan dosis 2-4 mg/menit selama 24-72
jam setelah serangan. Dalam perawatan rumah sakit, bantuan respirator biasanya
tidak perlu atau diperlukan hanya untuk waktu yang singkat dan stabilisasi
hemodinamik yang terjadi dengan cepat setelah defibrilasi atau kardioversi.
Dalam fibrilasi ventrikel sekunder pada IMA (kejadian dengan abnormalitas
hemodinamika menjadi predisposisi untuk terjadinya aritmia yang dapat membawa
kematian), upaya resusitasi kurang begitu berhasil dan pada pasien yang
berhasil diresusitasi, angka rekurensinya cukup tinggi. Gambaran klinis
didominasi oleh ketidak stabilan hemodinamik. Dalam kenyataan, hasil akhir
lebih ditentukan oleh kemampuan untuk mengontrol gangguan hemodiunamik
dibandingkan dengan gangguan elektrofisiologi. Disosiasi elektromekanis, asitol
dan bradiaritmia merupakan peristiwa sekunder yang umum pada pasien yang secara
hemodinamis tidak stabil dan kurang responsive terhadap intervensi.
4. Penatalaksanaan Jangka Panjang
Bentuk
perawatan ini dikembangkan menjadi daerah utama aktivitas spesialisasi klinis
karena perkembangan system penyelamatan emergency berdasar-komunitas. Pasien
yang tidak menderita kerusakan system saraf pusat yang ireversibel dan yang
mencapai stabilitas hemodinamik harus dilakukan tes diagnostik dan terapeutik
yang ekstensif untuk tuntutan penatalaksanaan jangka panjang. Pendekatan
agresif ini dilakukan atas dasar dorongan fakta bahwadata statistikdari tahun
1970 mengindikasikan kelangsungan hidup setelah henti jantung di luar rumah
sakit diikuti oleh angka henti jantung rekuren 30 persen pada 1 tahun, 45
persen pada 2 tahundan angka mortalitas total hampir 60 persen pada 2 tahun.
Perbandingan historis mendukung bahwa statistik buruk ini dapat diperbaiki
dengan intervensi yang baru. Tetapi seberapa besar perbaikannya idak diketahui
karena kurangnya uji intervensi bersamaan yang terkendali.
2.2.
KONSEP
DASAR ASKEP
1.
PENGKAJIAN
Prinsip penangan RJP ada 3 langkah yaitu ABC
(Airway/pembebasan jalan nafas, Breathing/ usaha nafas, Circulation/ membantu
memperbaiki sirkulasi).
a.
Airway
(Pembebasan jalan nafas)
Persiapan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan RJP adalah meletakan korban pada permukaan yang keras dan memposisikan pasien dalam kondisi terlentang. Beberapa point penting dalam melakukan pembebasan jalan nafas:
Persiapan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukan RJP adalah meletakan korban pada permukaan yang keras dan memposisikan pasien dalam kondisi terlentang. Beberapa point penting dalam melakukan pembebasan jalan nafas:
1)
Gunakan
triple maneuver (head tilt-chin lift maneuver untuk membuka jalan nafas bagi
korban yang tidak memiliki tanda-tanda trauma leher dan kepala).
2)
Apabila
terdapat kecurigaan trauma vertebra cervicalis, pembebasan jalan nafas
menggunakan teknik Jaw-thrust tanpa ekstensi leher.
3)
Bebaskan
jalan nafas dengan membersihkan hal-hal yang menyumbat jalan nafas dengan finger
swab atau suction jika ada.
b.
Breathing
(Cek pernafasan)
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan antara lain:
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam melakukan cek pernafasan antara lain:
1.
Cek
pernafasan dilakukan dengan cara look (melihat pergerakan pengembangan dada),
listen (mendengarkan nafas), dan feel (merasakan hembusan nafas) selama 10
detik.
2.
Apabila dalam 10 detik usaha nafas tidak
adekuat (misalnya terjadi respirasi gasping pada SCA) atau tidak ditemukan
tanda-tanda pernafasan, maka berikan 2 kali nafas buatan (masing-masing 1 detik
dengan volume yang cukup untuk membuat dada mengembang).
3.
Volume
tidal paling rendah yang membuat dada terlihat naik harus diberikan, pada
sebagian besar dewasa sekitar 10 ml/kg (700 sampai 1000 ml).
4.
Rekomendasi
dalam melakukan nafas buatan ini antara lain:
a.
Pada
menit awal saat terjadi henti jantung, nafas buatan tidak lebih penting
dibandingkan dengan kompresi dada karena pada menit pertama kadar oksigen dalam
darah masih mencukupi kebutuhan sistemik. Selain itu pada awal terjadi henti
jantung, masalah lebih terletak pada penurunan cardiac output sehingga kompresi
lebih efektif. Oleh karena inilah alasan rekomendasi untuk meminimalisir
interupsi saat kompresi dada
b.
Ventilasi
dan kompresi menjadi sama-sama penting saat prolonged VF SCA
c.
Hindari
hiperventilasi (baik pernapasan mulut-mulut/ masker/ ambubag) dengan memberikan
volume pernapasan normal (tidak terlalu kuat dan cepat)
d.
Ketika
pasien sudah menggunakan alat bantuan nafas (ET. LMA, dll) frekuensi nafas
diberikan 8-10 nafas/menit tanpa usaha mensinkronkan nafas dan kompresi dada.
5.
Apabila
kondisi tidak memungkinkan untuk memberikan nafas buatan (misalnya korban
memiliki riwayat penyakit tertentu sehingga penolong tidak aman/resiko
tertular) maka lakukan kompresi dada.
6.
Setelah
pemberian pernafasan buatan, segera lakukan pengecekan sirkulasi dengan
mendeteksi pulsasi arteri carotis (terletak dilateral jakun/tulang krikoid).
7.
Pada pasien dengan sirkulasi spontan (pulsasi
teraba) memerlukan ventilasi dengan rata-rata 10-12 nafas/menit dengan 1 nafas
memerlukan 5-6 detik dan setiap kali nafas harus dapat mengembangkan dada.
c.
Circulation
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan sirkulasi pada saat melakukan resusitasi jantung dan paru:
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam mempertahankan sirkulasi pada saat melakukan resusitasi jantung dan paru:
1.
Kompresi
yang “efektif” diperlukan untuk mempertahankan aliran darah selama resusitasi
dilakukan.
2.
Kompresi
akan maksimal jika pasien diletakan terlentang pada alas yang keras dan penolong
berada disisi dada korban.
3.
Kompresi
yang efektif dapat dilakukan dengan melakukan kompresi yang kuat dan cepat
(untuk dewasa + 100 kali kompresi/menit dengan kedalam kompresi 2 inchi/4-5 cm;
berikan waktu untuk dada mengembang sempurna setelah kompresi; kompresi yang
dilakukan sebaiknya ritmik dan rileks).
4.
Kompresi
dada yang harus dilakukan bersama dengan ventilasi apabila pernafasan dan
sirkulasi tidak adekuat.
2.
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
1.
Gangguan
perfusi cerebral b.d penurunan suplai O2 ke otak
2.
Gangguan
pertukaran gas b.d suplai O2 tidak adekuat
3.
Penurunan
curah jantung b.d kemampuan pompa jantung menurun
3.
INTERVENSI KEPERAWATAN
Dx I : Gangguan perfusi serebral b.d penurunan
suplai O2 ke otak
Tujuan : Sirkulasi darah kembali
normal sehingga transport O2 kembali lancar
Kriteria Hasil
:
Ø Pasien akan mempertahankan
tanda-tanda vital dalam batas normal
Ø Warna dan suhu kulit normal
Ø CRT < 2 detik.
Intervensi :
1) Berikan vasodilator misal
nitrogliserin, nifedipin sesuai indikasi
R /Obat diberikan untuk meningkatkan
sirkulasi miokardia.
2) Posisikan kaki lebih tinggi dari
jantung
R /Mempercepat pengosongan vena
superficial, mencegah distensi berlebihan danmeningkatkan aliran balik vena
3) Pantau adanya pucat, sianosis dan
kulit dingin atau lembab
R /Sirkulasi yang terhenti
menyebabkan transport O2 ke seluruh tubuh juga terhenti sehingga
akral sebagai bagian yang paling jauh dengan jantung menjadi pucat dan dingin
4) Pantau pengisian kapiler (CRT)
R /Suplai darah kembali normal jika
CRT < 2 detik dan menandakan suplai O2 kembali normal
Dx II :
Gangguan pertukaran gas b.d suplai O2 tidak adekuat
Tujuan : Sirkulasi darah kembali normal sehingga pertukaran
gas dapat berlangsung
Kriteria Hasil :
Ø Nilai GDA normal
Ø Tidak ada distress pernafasan
Intervensi :
1)
Berikan
O2 sesuai indikasi
R/ Meningkatkan konsentrasi oksigen
alveolar dan dapat memperbaiki hipoksemia jaringan
2)
Pantau
GDA Pasien
R/ Nilai GDA yang normal menandakan
pertukaran gas semakin membaik
3)
Pantau
pernapasan klien
R/ Untuk evaluasi distress
pernapasan
Dx III : Penurunan curah jantung b.d kemampuan pompa jantung
menurun
Tujuan : Meningkatkan kemampuan pompa jantung
Kriteria Hasil :
Ø Nadi perifer teraba
Ø Tekanan darah dalam batas normal
Intervensi :
1) Lakukan Pijat Jantung
R / : untuk mengaktifkan kerja pompa
jantung
2) Berikan oksigen tambahan dengan
kanula nasal/masker dan obat sesuai indikasi (kolaborasi)
R / : Meningkatkan sediaan oksigen
untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat
digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas.
3) Palpasi nadi perifer
R / : Penurunan curah jantung dapat
menunjukkan menurunnya nadi radial, dorsalis pedis dan postibial. Nadi mungkin
hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi
4) Pantau Tekanan Darah
R / : Pada pasien Cardiac Arrest
tekanan darah menjadi rendah atau mungkin tidak ada.
5) Kaji kulit terhadap pucat dan
sianosis
R / : Pucat menunjukkkan menurunnya
perfusi sekunder terhadap tidak adekuatnya curah jantung.
BAB III
PENUTUP
3.1.
KESIMPULAN
Kematian jantung mendadak merupakan
kematian yang tidak terduga atau proses kematian yang terjadi cepat, yaitu
dalam waktu 1 jam sejak timbulnya gejala.
Henti jantung adalah terhentinya
kontraksi jantung yang efektif ditandai dengan pasien tidak sadar, tidak
bernafas, tidak ada denyut nadi. Pada keadaan seperti ini kesepakatan
diagnostis harus ditegakkan dalam 3 – 4 menit. Keterlambatan diagnosis akan
menimbulkan kerusakan otak. Harus dilakukan resusitasi jantung – paru.
3.2.
SARAN
Untuk menerapkan asuhan keperawatan gawat
darurat ini, hendaknya kita berpedoman
dari segala bentuk aspek keperawatan itu sendiri, sehingga dapat tercapai
asuhan keperawatan yang sesuai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar